Selamat Datang di Blog saya, semoga berkenan meninggalkan komentar untuk perbaikan !

Sabtu, 28 September 2013

Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia Tokoh Kontemporer



Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A.
Oleh; Hikmah,S.Pd.I
A.  Dasar Pemikiran
Sejak Islam masuk ke Indonesia, pendidikan Islam telah ikut mengalami pertumbuhan dan perkembangan, karena melalui pendidikan Islam itulah, transmisi dan sosialisasi ajaran Islam dapat dilaksanakan dan dicapai hasilnya sebagaimana kita lihat sekarang ini.[1]
Telah banyak lembaga pendidikan Islam bermunculan dengan fungsi utamanya memasyarakatkan ajaran Islam tersebut. Di Sumatra Barat kita jumpa Surau, [2] Rangkang dan Meunasah di Aceh, Langgar di Jakarta, Tajuk di Jawa Barat, Pesantren di Jawa, dan seterusnya. Munculnya lembaga- lembaga pendidikan tradisional ini tidak selamanya diterima baik oleh masyarakat mengingat jauh sebelum itu telah berkembang pula agama- agama lain seperti Hindu, Budha, dan juga paham agama setempat dan adat istiadat yang tidak selamanya sejalan dengan ajaran Islam.
Menghadapi yang demikian itu, para pendidik dan juru dakwah menggunakan berbagai strategi dan pendekatan, yaitu disamping dengan pendekatan kultural[3] juga dengan pendekatan politis dan perkawinan.[4] Melalui pendekatan yang dimiliki itu, Islam yang diajarkan tidak selamanya menampilkan corak yang beragam. Kenyataan inilah yang selanjutnya memperlihatkan alam Indonesia sebagai negara yang kaya dengan budaya, agama, adat istiadat, dan lembaga pendidikan.
Dalam proses sosialisasi ajaran Islam tersebut, para pendidik telah memainkan peran yang amat signifikan dengan cara mendirikan lembaga pendidikan mulai dari tingkat Taman Kanak- kanak, hingga Pergruan Tinggi atau Universitas. Di lembaga- lembaga pndidikan tersebut, mereka telah mengembangkan sistem dan pendekatan dalam poses belajar mengajar, visi dan misi yang harus dipejuangkan, kurikulum, bahan ajar berupa buku- buku, majalah, gedung tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan lengkap dengan sarana dan prasarana, tradisi dan etos yang dikembangkan, sumber dana dan kualitas lulusan yang dihasilkan.
Terjadinya proses kegiatan pendidikan tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran tokoh sebagai aktor utamanya. Mereka telah berhasil mendirikan surau, meunasah, langgar, pesantren, madrasah, sekolah tinggi, akademi, institut, dan universitas. Gerakan pendidikan Islam tersebut merata diseluruh kepulauan Indonesia, yaitu mulai dari Aceh, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Utara, hingga kepulau Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Maluku. Melalui lembaga- lembaga yang didirikan pada berbagai wilayah tersebut, tokoh- tokoh dimaksud telah mampu mencetak kader- kader yang selanjutnya memimpin perjalanan kehidupan bangsa.
Upaya gerakan pendidikan ini berlangsung dari sejak zaman pra kemerdekaan hingga zaman kemerdekaan dan zaman modern seperti sekarang ini. Gerakan pendidikan tersebut selain mendapat pengaruh dari dalam, yaitu corak danmodel pendidikan Belanda serta tantangan internal dalam negri, juga dipengaruhi oleh gerakan yang berkembang di Timur Tengah seperti Arab Saudi (Makkah), Mesir, Turki, India pengaruh ini terjadi karena adanya hubungan yang kuat antar ulama- ulama yang ada di Timur Tengah. [5]
Dalam menatap, merancang dan menyiapkan visi misi dan strategi pendidikan Islam di era globalisasi yang penuh tantangan ini, umat islam ditantang untuk berpikir dan bekerja lebih keras lagi. Umat Islam harus mampu merumuskan konsep pendidikan yang sesuai dengan zamannya. Upaya ini menuntut adanya pemikiran, gagasan, dan saran- saran yang konstruktif. Umat islam perlu melihat dan belajar serta bersikap terbuka terhadap pemikiran dan gagasan yang datang dari manapun.
Dalam kerangka pemikiran yang demikian itu, maka sepakat untuk mengikui pendapat yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan sekarang adalah merupakan buah dari perbuatan masa lalu, dan perbuatan masa depan adalah merupakan buah dari perbuatan yang dilakukan dimasa sekarang. Teori yang pada intinya menekankan kesaling pengaruh mempengaruhi ini menarik untuk digunakan sebagai strategi melihat masa lalu dalam rangka menatap masa depan.
Seiring dengan hal tersebut sudah saatnya bagi kita untuk mengkaji gagasan, pemikiran, dan pendapat dari para pemikir pendidikan masa lalu untuk dijadikan masukan bagi penyusunan konsep pendidikan masa depan setelah terlebih dahulu melakukan proses analisis, dialektika internal inilah antara lain yang mendasari pemikaran tokoh pendidikan Islam.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah Riwayat Hidup  Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. ?
2.      Bagaimanakah Gagasan dan Pemikiran Pendidikan Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. dalam Pembaharuan Pendidikan di IAIN ?
3.      Bagaimanakah Gagasan dan Pemikiran Pendidikan Islam Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. ?
C.  Riwayat Hidup Azyumardi Azra
Hingga saat ini kondisi Perguruan Tinggi Islam yang berada di bawah naungan Departemen Agama semacam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) belum seluruhnya dipandang sejajar dengan Perguruan Tinggi Umum yang berada di bawah naungan Departemen PendidikanNasional. Lulusan Perguruan Tinggi Islam masih memiliki keterbatasan peluang dalam memasuki lapangan kerja yang disebabkan karena keahlian yang dimilikinya, yakni hanya ilmu agama Islam. Prof. Dr. Azyumardi Azra, melalui Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah berhasil mengubah citra perguruan tinggi Islam sebagai perguruan tinggi yang sejajar dengan perguruan tinggi yang di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. Bahkan kini, UIN yang dipimpinnya menjadi universitas Islam terbaik di Asia Tenggara. Berbagai komponen pendidikan, mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, kompetensi dosen, proses belajar mengajar, sarana prasarana, sudah ditingkatkan menjadi taraf nasional, bahkan internasional. UIN yang dipimpinnya telah menjadi kebanggaan umat dan bangsa Indonesia. 
Azyumardi Azra, lahir pada tanggal 4 Maret 1955 di Lubuk Alung Sumatra Barat. Pendidikan awalnya dimulai dari Sekolah Dasar SD dekat rumahnya kemudian melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Agama Negeri (PGAN) Padang, setelah menyelesaikan sekolah PGAN beliau melanjutkan ke IAIN Jakarta. Semasa kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra bukan hanya dikenal sebagai seorang aktivis lapangan yang terlibat dalam hal- hal pragmatis, melainkan ia juga sebagai seorang pemikir. Hal ini terlihat pada saat ia memegang jabatan di dua organisasi intra dan ekstra kampus, ia juga sebagai wartawan dimajalah Panji Masyarakat. Setelah lulus dari IAIN, pada tahun 1986 beliau mendapat beasiswa dari Fullbrigt yang disediakan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk melanjutkan program s2 di Universitas Columbia, NewYork dan belajar sejarah disana. Dari jurusan ini beliau mendapat gelar MA-nya pada Departemen Bahasa dan kebudayaan Timur Tengah 1988.
Selanjutya melalui program Columbia University President Fellowship, melanjutkan pada Departemen Sejarah, beliau memperoleh gelar MA kedua pada tahun 1989 dan gelar M. Phil, yang akhirnya dari jurusan sejarah ini juga mendapat gelar Ph.D-nya yang dianjutkan dengan mengikuti program post doctoral di Universitas Oxford selama satu tahun 1995- 1996. Setelah beliau kembali dari studinya beliau melanjutkan aktivitasnya sebagai editor in Chief di jurnal Studia Islamika, Wakil Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Pembantu Rektor Bidang Akademik IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang kemudian beliau diangkat menjdai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain kesibukannya sebagai rektor beliau tetap melakukan aktif menulis, mengedit dan menerjemahkan puluhan buku, Azyumardi Azra juga aktif menulis berbagai artikel yang ia sampaikan dalam berbagai forum seminar baik di dalam maupun luar negeri.
  Berdasarkan riwat hidup sebagaimana tersebut di atas, kita dapat mencatat berbagai hal. Pertama, beliau adalah seorang ilmuan muslim dengan bidang keahlian yang utama dalam bidang sejarah yang ditunjang oleh penguasaan yang luas dalam bidang ilmu agama seperti filsafat, teologi, tasawuf aliran modern, politik, dan pendidikan. Kedua, beliau adalah tipe pekerja keras yang cepat dan perfeksional. Ketiga, beliau adalah seorang ilmuan sekaligus cendikiawan sebagai mana terlihat tingginya komitmen pada perbaikan nasib umat Islam. Keempat, beliau adalah seorang yang tegas, penuh tanggaung jawab, amanah dan sederhana. Dengan sikap dan pola hidup yang demikian itu, maka orang banyak mengambil pelajaran dan keteladanan dari berbagai kebijakan yang diambilnya.
D.  Gagasan dan Pemikiran Pendidikan
Gagasan dan pemikiran pendidikan Azyumardi Azra, dapat ditelusuri dari sejumlah karya tulisnya serta berbagai kebijakan yang diambilnya selama ia menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Gagasan dan pemikirannya tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
Pertama, Perubahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Terjadinya perubahan IAIN menjadi UIN tersebut dilakukan oleh serangkaian kebijakan dan langkah- langkah yang dilakukan oleh para pejabat UIN setahap demi setahap. Dalam kaitan ini paling kurang ada tiga tahap yang mempengaruhi terjadinya perubahan tersebut.
1.    Tahap perintisan dan penjajagan.
Yang dilakukan di zaman Prof. Dr.Harun Nasution sebagai rektor. Sebagai seorang yang berpikiran modern dan rasional, Harun Nasution melihat bahwa IAIN yang ada sekarang sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan zaman. Sejak berdirinya IAIN sebagai ADIA di tahun 1957 hingga tahun 1980-an sudah banyak perubahan yang terjadi baik dalam bidang sosial,[6] ekonomi, politik, kebudayaan, kemajuan ilmu pengetahuan, serta pola kerja. Perubahan tersebut menuntut adanya manusia- manusia yang berbeda dengan manusia- manusia pada masyarakat agraris. Sekarang kita hidup di era industrialisai yang serba modern. Era ini membutuhkan manusia selain yang memiliki akhlak dan kepribadian yang baik, juga harus menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, ketrampilan, dan berwawasan modern seperti, inovatif, kreatif, progresif, demokratis, ulet, kerja keras, menghargai waktu, berpandangan jauh kedepan dan dinamis. Jika IAIN ingin tetap eksis dan dibutuhkan zaman, maka ia harus mengadakan pnyesuaian dengan berubah menjadi universitas. Untuk lebih mematangkan gagasan ini, di zaman Harun Nasution dilakukan serangkaian penelitian, seminar, studi banding kberbagai negara, untuk mendapat masukan yang diperlukan
2.    Tahap pelanjutan dan pematangan konsep.
Tahap ini terjadi pada zaman Prof. Dr.H.M. Qurais Shihab sebagai rektor. Setelah Harun nasution tidak menjabat sebagai rektor, gagasan untuk melakukan perubahan IAIN manjadi UIN mangalami masa kevakuma bberarapa saat. Di zaman H.M. Qurais Shihab upaya melakukan perubahan IAIN menjadi UIN tersebut dilanjutkan kembali. Upaya ini dilakukan dengan cara menyusun proposal perubahan IAIN menjadi UIN yang lengkap dan komprehensif dibawh koordinasi Prof. Dr. Azyumardi Azra, sebagai Rektor Pembantu Bidang Akademik. Di dalam proposal tersebut secara lebih langkap dan menyakinkan, penambahan fakultas serta berbagai perangkat sarana dan prasarana yang dibutuhkan, termasuk aspek anggaran yang dibutuhkan. Diantara alasan yang mendasari perubahan IAIN menjadi UIN adalah:
a.    Untuk memberikan peluang mendapatkan pendidikan tinggi yang lebih luas kepada tamatan madrasah. Hal ini terjadi, karena dengan berubhnya IAIN menjadi UIN akan bertambah jumlah fakultas dan program studi yang berdampak pada penambahan jumlah mahasiswa yang dapat diterima.
b.    Agar tamatan UIN dapat memasuki dunia lapangan kerja yang lebih luas. Hal ini terjadi, karena dengan dibukanya fakultas umum di samping fakultas- fakultas agama yang telah ada, tamatan UIN tidak hanya dapat bekerja di lembaga- lembaga keagamaan seperti Departemen Agama, Madrasah dan Pesantren, melainkan dapat juga bekerja di berbagai sektor yang lebih luas seperti di perbankkan, perusahan- perusahaan industri dan jasa, serta berbagai kgiatan lainnya.
c.    Agar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat menampung tamatan Madrasah Aliyah yang keadaannya sudah menjadi SMU yang bercorak keagamaan.
d.   Untuk meningkatkan martabat Perguruan Tinggi Islam yang berada di bawah Departemen Agama sehingga sejajar dengan martabat perguruan umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional, dan jika dimungkinkan lebih tinggi lagi martabatnya. Hal yang demikian perlu di lakukan, mengingat IAIN yang ada sekarang masih sering diposisikan sebagai perguruan tinggi kelas dua dan dimarjinalkan atau dilihat sebelah mata. Mereka yang kuliah di ITB misalnya, melihat bahwa masuk IAIN tidak sesulit masuk perguruan tinggi bergengsi seperti UGM, ITB, UI, dll. Masuk IAIN misalnya, hanya melalui testing yang didakan mereka sendiri, seangkan masuk perguruan tinggi bergengsi tersebut harus melalui ujian SPMB yang amat berat. Dengan perubahan IAIN menjadi UIN, maka disamping melalui ujian lokal, masuk UIN juga melalui SPMB.
3.    Tahap pematangan gagasan dan implementasi.
Tahap ini terjadi pada zaman Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. sebagai rektor.  Pada tahap ini proposal yang memuat gagasan dan pemikiran perubahan IAIN menjadi UIN yag telah dibuat pada zaman sebelumnya disempurnakan sesuai ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku.[7] Proposal disampaikan kepada Mentri Pendidikan Nasional setelah mengkoordinasikan dengan Mentri Agama, khususnya Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam (Bagis) Departemen Agama RI. Dengan menunggu keputusan perubahan tersebut, Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A. Memperkenalkan konsep IAIN dengan mandat yang lebih luas. Disamping menyelanggarakan program studi agama yang telah ada sebelumnya, IAIN juga meyelanggarakan program studi umum, sperti agribisnis, teknik informatika, menejenmen akutansi, ekonomi.[8] Kedua, Pengembangan fakultas dan program studi.  Ketiga, Pengembangan sarana dan prasarana. Keempat, Perubahan dan pengembangan pusat- pusat studi dan kerja sama. Kelima, Peningkatan kesejahteraan dosen dan karyawan.
Selain melakukan berbagai upaya konkrit sebagai mana tersebut diatas, Azyumardi Azra juga memiliki sejumlah pemikiran tentang pendidikan Islam yang bersifat konseptual dan strategis sebagai berikut:
1.    Perlunya modernisasi pendidikan Islam
Didalam bukunya Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru , Azyumardi Azra mengemukakan gagasannya tentang modernisasi pendidikan Islam yang di hubungkan dengan tantangan abad ke-21 dan era globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan berdasarkan pada pendekatan bidang sejarah sebagai bidang keahliannya, Azyumardi Azra mengajukan saran- saran upaya modernisasi pendidikan Islam tersebut antara lain melalui pengembangan kajian Islam sebagai disiplin keilmuan universitas, peninkatan kualitas sumber daya manusia, serta pembentukan- pembentukan sekolah yang unggul. Dalam hubungan ini ia mengatakan: “Jika kaum Muslimin, termasuk Indonesia tidak hanya ingin sekedar survive  di tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat, tetapi juga berharap mampu tampil kedepan, maka reorientasi pemikiran mengenai pendidikan Islam dan restrukturisasi sistem dan kelembagaan jelas merupakan keniscayaan. Cara pandang yang menganak tirikan iptek tampak tidak bisa dipertahankan lagi.”[9] Namun demikian, modernisasi yang didasarkan pada ajaran Islam yang pada prisipnya sangat modern. Untuk ini ia mengatakan: “Pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat manusia merupakan karakteristik Pendidikan Islam berikutnya. Di sini suatu pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan dikembangkan, melainkan sekaligus dipraktikan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, terdapat konsistensi terhdap apa- apa yang  diketahui dengan pengamalannya dalam kehidupan sehari- hari. Menurutnya di dalam Islam mengetahui suatu ilmu pengetahuan sama petingnya dengan pengalamannya secara konkrit.”
Hal tersebut memperlihatkan bahwa, bagi Azyumardi, gagasan modernisai pendidikan Islam sebagaimana tersebut diatas hendaknya tidak hanya menjadi wacana, melainnkan harus menjadi kenyataan dan dipraktikan. Praktik tersebut telah terlihat dalam berbagai upaya pembaharuan yang dilakukannya pada UIN Syarf Hidayatulah Jakarta sebagaimana telah disebutkan di atas. Dalam konteks ini kita dapat mengatakan, bahwa Azyumardi bukan hanya sebagai seorang pemikir teoritis tentang pendidikan Islam, melainkan juga sebagai seorang praksis tentang pendidikan Islam. Tampaknya bagi Azyumardi bahwa ide dan kenyataan harus dibangun bersama- sama, karena dengan cara itulah sebuah ide dapat dirasakan manfaatnya. Dengan mengambil contoh yang sederhana, keliaanya antara jiwa dan raga, jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, ilmu dan agama, dan berbagai keseimbangan lainnya sebagaimana ditekankan dalam ajaran Islam dapat menjadi sebuah realitas yang dirasakan manfaatnya.
Gagasan pembaharuan pendidikan Islam yang dikemukakan Azyumardi Azra juga mencakup pembaharuan pesantren dan surau.[10] Dalam konteks pesantren yang ada di Indonesia, Azyumardi mencoba menganalisis tentang sebab- sebab mengapa pesantren dapat terus bertahan dalam menghadapi tantangan modernisasi. Sebab- sebab tersebut menuntut pengamatan Azyumardi Azra, adalah karena pesantren dapat merespons perkembangan yang terjadi disekitarnya tanpa meninggalkan ciri aslinya. Repons tersebut dengan cara mendirikan madrasah dikomplek pesantren masing- masing, mendirikan pendidikan umum di bawah sistem Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan kata lain, pesantren bukan hanya mendirikan madrasah, tetapi juga sekolah umum, yang mengikuti sistem dan kurikulum Dpartemen D & K.
Selanjutnya mengenai surau[11] Azyumardi mengatakan bahwa surau dan sistem pendidikannya yang khas kembali mencapai puncak kejayaan hingga abad ke-20, ketika pendidikan sekuler Belanda dan madrasah diperkenalkan kelompok Muslim Modernis. Bukti- bukti menunjukan bahwa pendidikan surau tetap memainkan peran penting bagi masyarakat Islam Minangkabau sepanjang abad ke-19. Namun dalam masa kemerdekaan, hanya beberapa surau saja yang bertahan, bahkan di masa- masa akhir sebagian mulai menanamkan diri sebagai “pesantren”. Sedangkan surau sendiri hanya sekedar tempat untuk membaca Al-qur’an atau arena sosialisasi anak- anak dan remaja.
Motivasi yang demikian kuat mendorong Azyumardi Azra untuk melakukan modernisasi pendidikan Islam sebagaimana tersebut di atas karena lingkungan di mana ia hidup dan menimba ilmu pengetahuan yaitu IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, HMI serta pendidikannya di luar negeri berada dalam suasana modernisasi. Sejak masih mahasiswa ia sudah banyak mendalami ide- ide modern yang dikemukakan oleh para tokoh pembaharu Islam dari berbagai dunia.
Tidak hanya pada lembaga pendidikan dasar dan menengah, pembaharuan pendidikan juga terjadi pada lembag pendidikan tinggi. Untuk itu ia mengemukakan gagasan dan pemikiran tentang pembaharuan IAIN dan pengembangan intelektual Muslim serta berbagai aspeknya yang terkait, termasuk masalah perubahan orientasi antara Barat dan Timur, serta orientasi kurikulum. Berkaitan dengan pengembangan IAIN, ia mengajukan rekomendasi berupa:
1)   Reformulasi tujuan IAIN
Ia berharap sebagai training center , IAIN juga lebih mengfungsikan diri sebagai pusat penelitian dan pengembangan pembaharuan pemikiran Islam.
2)   Restrukturisasi kurikulum
Azyumardi mengatakan:” sebagai pusat dan keilmuan dan penelitian Islam, seyogyanya jurusan- jurusan di IAIN yang berkaitan dengan disiplin keagaman selain lebih menekuni bidang Islamic Studies , hendaknya juga memberikan kesempatan bagi penguasaan prinsip dari kerangka teori ilmu umum”.
3)   Simplikasi beban perkuliahan
Akibat penetrasi subjek yang tidak terlalu relevan dengan Islamic Studies, maka beban perkuliahan menjadi amat berat. Overloaded ini juga terjadi pada program Pascasarjana. Idealnya beban mahasiswa setiap semester tidak lebih dari 5 mata kuliah.
4)   Dekompartementalisasi
Menurutnya dewasa ini, terjadi kompartementalisasi yang cukup parah dalam IAIN dalam bentuk fakultas dan jurusan sejak mahasiswa masuk kuliah. Akibat kompartementalisasi ini, mahasiswa cenderung mempunyai pemahaman yang terpilah- pilah tentang Islam.
5)   Liberalisasi sistem SKS
Mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih bidang studi yang mereka minati. Demikian pula, hendaknya dosen memberikan penawaran mata kuliah baru,  sesuai dengan keahliannya dan tuntunan perkembangan keilmuan dan zaman.
Berkaitan dengan liberalisasi kurikulum tersebut, Azyumardi juga menyampaikan kritik dan saran yang di sampaikan selama program orientasi kurikulum 1995, yang meliputi:
a)    Menyangkut penyempurnaan isi dan atau topik- topik inti di dalam kurikulum.
b)   Menyangkut pembinaan mata kulian pada tingkat nasional.
c)    Penyediaan tenaga pengajar yang qualified untuk mengajar mata kuliah tertentu.
d)   Penyediaan buku dasar dan literatur yang memadai.
e)    Peningkatan input IAIN melalui seleksi yang lebih ketat.
f)    Peningkatan mutu perkuliahan melalui program pertukaran dosen, baik sesama antar IAIN maupun dengan luar negeri.
g)   Penyediaan prasarana penunjang pengajaran yang lebih memadai.
Selanjutnya mengenai Barat dan Timur, Azyumardi berpendapat:” corak kajian Islam, baik dengan pendekatan Barat maupun Timur Tengah, adalah bagian yang absah dari diskursus intelektualisme Islam di Dunia Muslim. Kedua corak ini seharusnya tidaklah dipertentankan, karena itu hanya kan counter-productive, melainkan harus dipandang sebagai komplementer satu sama lain. Bahkan, kedua pendekatan ini, sebaiknya dipadukan atau diharmonisasikan sedemikian rupa untuk mendinamisasikan pemikiran Islam di tanah air.[12]
2.    Tugas dan misi Departemen Agama
Dalam tulisannya yang berjudul “Departemen Agama: Lebih Demokratis dan Transparan,” Azyumardi mengatakan: bahwa latar belakang berdirinya Departemen Agama, baik tugas peran maupun misinya, berbeda dengan departemen yang lain. Selain itu, mengenai otonomi daerah, harus dirumuskan batasan- batasannya. Departemen perlu cepat menyusun konsep untuk masukan RUU dari berbagai aspek dan implikasinya, dari berbagai hal, yakni tugas dan misi Departemen Agama. Masalahnya bukan hanya Departemen Agama, melainkan masalah umat. Untuk menciptakan kondisi yang kondusif, pejabat Departemen Agama harus proaktif menyampaikan penjelasan- penjelasan dan melakukan sosialisasi mengenai tugas dan misi Departemen Agama terutama dalam bidang pendidikan. [13]
3.    Politik pendidikan
Azyumardi Azra adalah termasuk salah satu cendekiawan Muslim dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak berbicara tentang politik.[14] Perbincangan masalah politik diberbagai mass media baik cetak maupun elektronik banyak diwarnai oleh pemikiran Azyumardi Azra. Pandangan- pandanganya tentang politik diakui sangat objektif, lugas, netral, berani dan orisinal. Demikian pula dalam berbagai buku yang ditulisnya banyak yang bertemakan politik.[15] Namun demikian, politik baginya bukan tujuan, melainkan hanya sebagai alat. Azyumardi menginginkan agar politik berpihak kepada upaya penegakan demikrasi, keadilan, pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan dan hak- hak asasi manusia lainya. Melalui politik, pendidikan Islam hendaknya dapat ditingkatkan untuk membawa kemajuan bangsa dan negara.
4.    Jaringan ulama dan pembaharuan Islam di Wilayah Melayu Indonesia Abad ke Delapan Belas
Dalam bukunya yang berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Azyumardi banyak berbicara tentang hubungan awal Muslim Nusantara dengan Timur Tengah serta jaringan Ulama internasional. Melalui buku ini ia ingin membangun kebanggaan pada diri umat Islam Indonesia dalam hubungannya dengan umat Islam di berbagai dunia. Hal demikian dapat di lihat dari sejumlah temuan Azyumardi yang sangat meyakinkan, bahwa apada abad XVII dan XVIII orang- orang Indonesia yang menjadi ulama besar di Makkah dan Madinah. Mereka selain dipercaya sebagai Imam Masjidil Haram,[16] juga sebagai ulama tempat di mana umat Islam dari berbagai belahan dunia yang berada di Makkah dan Madinah belajar kepada mereka. Diantara ulama Indonesia yang mencapai derajat yang demikian adalah Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Nawawi al-Bantani, Syaikh Ahmad Sambas. Melalui informasi ini, Azyumardi Azra secara tidak langsung mengharapkan agar umat Islam sekarang dapat meningkatkan ilmu agamanya dan sekaligus mengambil peran sebagaimana para ulama di masa lalu memerankannya.
E.  Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis diatas dapat disimpulakan sebagai berikut:
1.      Dilihat dari segi aktifitasnya, Azyumardi Azra adalah seorang tokoh yang tidak hanya mampu berfikir teorotis melainkan sekaligus mengaplikasinya menjadi sebuah realitas. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan yang ia capai baik semasa memimpin organisasi intra dan ekstra kampus, maupun sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama periode (1998-2002, dan 2003-2006). Pada masa kepemimpinan ini, mencapai tingkat kemajuan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Perubahan IAIN menjadi UIN yang membawa implikasi pada penambahan fakultas, jurusan, dsb.
2.      Dilihat dari segi gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan, tidak dapat diragukan lagi, bahwa Azyumardi Azra dapat dikategorikan sebagai seorang sejarawan yang menggunakan keahlian itu untuk kepentingan pengembangan pendidikan. Untuk itu ia memiliki gagasan dalam bidang kelembagaan, khusunya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pengembangan pesantren dan madrasah, visi pengembangan pendidikan Islam dan epistemologi ilmu, perbandingan pendidikan di Timur Tengah dan di Barat, peran serta masyarakat dalam pemberdayaan pendidikan keagamaan, pengembangan sumber daya manusia bagi pendidikan, serta pengamatannya terhadap berbagai fenomena baru dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, corak pemikiran pendidikan Azyumardi adalah memadukan antara unsur lama yang masih relevan dengan unsur baru yang lebih relevan.
3.      Dilihat dari segi praksisnya, gagasan dan pemikiran pendidikan Azyumardi Azra, bukan hanya tercatat dalam lembaran kertas melainkan telah menjadi kenyataan, dan dapat dirasakan manfaatnya bagi perbaikan rakyat Indonesia, khususnya pada perbaikan nasib bangsa Indonesia, khususnya pada perbaikan nasib pendidikan umat Islam, melalui UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai tempat dimana ia mengabdikan dirinya.
Dari berbagai uraian diatas, terlihat bahwa Azyumardi Azra selain sebagai ahli sejarah Islam yang berfikiran luas, mendalam, lugas, kritis dan objektif, juga sekaligus sebagai seorang praktisi pendidikan Islam. Padanya terhimpun antara cita- cita dan fakta, antara ide dan pelaksanaan secara seimbang. Berbagai keahlianya dalam bidang sejarah dan ilmu agama Islam, termasuk bidang politik telah ia gunakan untuk membangun dan mengangkat derajat dan martabat bangsa, khusunya umat Islam. Dari seluruh gagasan dan pemikirannya terlihat bahwa ia adalah seorang modernis yang memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan cita- cita ajaran Islam melalui kegiatan pendidikan, yang pada gilirannya membawa kemajuan bagi bangsa dn negara.
Daftar Pustaka
Abbudin Nata. 2005. Tokoh- Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo.
Azyumardi Azra. 1998. Esensi- esensi Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
_____________. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
_____________. 2003. Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
_____________.1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
_____________.1996. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hinggga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.



[1] Terdapat banyak sekali teori tentang masuknya Islam ke-Indonesia. Sebagian ada yang berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Nabi Muhammad Saw, di abad ke-7 Masehi. Sebagian lainnya berpendapat bahwa islam masuk Indonesia pada abad ke-13, abad dimana Islam sudah mengalami kemunduran dan menampilkan corak pemahaman yang eksklusif, normatif, dan tekstualis, tanpa peduli dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman. Islam tampil dalam sosoknya yang hanya mementingkan kehidupan spiritualis keagamaan. Berbagai pendapat yang demikian dapat diterima dan dipertemukan dengan mengatakan, bahwa Islam yang datang pada abad ke-7 Masehi adalah Islam yang bersifat individual, perorangan dan perdagangan, mengingat orang- orang Islam yang datang ke Indonesia melalui Aceh misi utamanya adalah berdagang. Penemuan orang makam orang Arab pada masa itu misalnya, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa ia orang Islam. Boleh jadi itu orang Arab yang belum beragama Islam, meningat jauh sebelum datangnya Islam, orang Arab sudah ada yang datang ke Aceh untuk tujuan perdagangan. Sedangkan Islam yang datang abad ke-13 dapat dikatakan Islam yang telah mengemban misi sosial kemasyarakatan sosial dan dakwah. Mengingat mereka yang datang pada masa itu sudah mulai menyebarkan ajaran Islam melalui dakwah dan pendidikan. Lihat Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta:Bulan Bintang, 1986), cet.I, hlm.56-76; Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3S,1985), cet.I, hlm.52-66.
[2] Jauh sebelum Islam datang ke Sumatra Barat, didaerah tersebut telah ada Surau. Lembaga ini pada mulanya sebagi tempat berkumpulnya anak laki- laki yang belum kawin atau orang laki- laki dewasa yang telah bercerai dengan istrinya. Fungsi Surau yang seperti itu merupakan implikasi dari struktur sosial masyarakat Sumatra Barat yang menempatkan posisi laki- laki dalam keluarga sebagai yang kurang beruntung. Anak laki- laki tidak memiliki kamar dirumahnya, dan posisi wanita yang lebih beruntung. Keadaan ini memaksa anak laki- laki untuk tinggal di Surau. Selain itu, Surau juga berfungsi sebagai tempat persinggahan para musyafir, praktik adat, perpantun, dan sebaginya. Setelah Islam masuk ke Sumatra Barat, fungsi Surau mengalami perkembangan, yaitu selain melaksanakan fungsi- fungsi sebagai mana tersebut diatas, juga sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan agama tingkat dasar, yaitu tempat pengajaran Al- Qur’an, praktik ibadah, rukun iman, dan akhlak mulia. Lihat Ayzumardi Azra, Surau, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), cet.I, hlm.45-67.
[3] Pendekatan kultural alam melaksanakan dakwah dan pendidikan sudah dilakukan sejak dari Rasulallah Saw. Pada masa itu Rasulallah menjumpai masyarakat Arab yang sudah memiliki adat istiadat dan kebudayaan yag sudah berakar. Diantara mereka sudah terbiasa melakukan judi, minum-minuman keras, judi, zina, dan lainsebagainya. Menghadapi yang demikian itu Rasulallah mencoba melakukan tiga hal. Pertama, berusaha memperkuat tradisi yang ada yang tidak bertentangan dengan syara’, seperti tradisi menghormati orang tua dan orang- orang yang lebih senior, dan tradisi berkelompok. Dalam kaitan ini sangat terkenal sekali haditsnya yang mengatakan al- adat muhakamat (tradisi itu dapat menjadi undang- undang dan penetapan hukum), dan dalam ilmu usul fiqih (Kaidah- kaidah Penetapan Hukum) kita menjumpai salah satu sumber hukum yang disebut ‘Urf, yaitu segala sesuatu yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat namun tidak bertentangan dengan syara. Kedua ,berusaha memperbaiki fisi dan misinya. Dalam kaitan ini kita jumpai syariat berhari raya dan kurban. Jauh sebelum Islam, masyarakat Arab sudah terbiasa menyelanggarakan hari raya satu tahun dua kali yang diisi dengan pesta puisi, minum minuma keras, dan foya- foya. Tradisi berhari raya ini diteruskan dengan cara memperbaiki materi dan isi dalam penyelanggaraannya, yaitu dengan melakukan ibadah, pendekatan diri pad Allah, dengan menyebut namaNya, berbuat kebaikan pada fakir miskin. Demikian berkurban yang semula dilakukan dalam rangka mempersembahkan sesuatu pada dewa diganti dengan upaya pendektan pada Tuhan, dengan cara menyembelih hewan kurban yang dagingnya diberikan pkepada fakir miskin.  Ketiga, berusaha menghapuskannya, yaitu menghapus tradisi yang tidak sesuai dengan syara’ dengan cara yang amat bijaksana, bertahap (gradual) tanpa menimbulkan konflik, permusuhan. Keadaan demikian dijumpai oleh para juru dakwah dan pendidik di Indonesia, dan dilakukan dengan cara sebagaimana di lakukan Rasulallah Saw. Lihat Ahmad Khudlari Bek, Tarikh Tasyri al-Islamy, (Mesir: Dar al- Ma’arif, 1985), hlm. 56-60; Abd al-Wahhab al- Khallf, Ilmu Ushul al- Fiqh, (Mesir: Dar al- Ma’arif, 1987), hlm. 70-91.
[4] Sejarah mencatat, bahwa Islam datang ke Indonesia, kondisi situasi alam Indonesia yang luas dan kaya akan budaya ini diwarnai dengan adanya beragam agama, dan kerajaan- kerajaan. Agama- agama yang ada sebelum Islam anatara lain agama budaya setempat (animisme- dinamisme), Hindu dan Budha. Sedangka kerajaan- kerajaan yang ada sebelumnya diwarnai pula oleh agama tersebut. Ada kerajaan yang bercorak Hindu seperti Kerajaan Mulawarman di Sumatra Selatan, Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, Kerajaan Majapahit di Jawa Timur serta kerajaan lain yang pada umumnya di daerah pedalaman. Keadaan tersebut berbeda dengan daerah pesisir yang pada umumnya belum dikuasai oleh agama dan kerajaan- kerajaan tersebut. Daerah ini relatif mudah untuk diislamkan. Sedangkan daerah pedalaman yang sudah terdapat kerajaan tersebut terpaksa harus menggunakan pendekatan politik dan perkawinan, yaitu  pendekata yang mencoba menaklukan kerajan dengan memilih waktu yang tepat, saat kerajaan lemah, serta dengan cara mengislamkan putra- putra mahkota. Dengan cara demikian, tanpa adanya perang dan konflik, Islam dapat masuk ke daerah tersebut dan kerajaan dapat dikuasai. Lihat Yusuf Abdulah Fuar, Proses masuknya Islam ke Indonesia, (Jakarta:Mutiara, 1981), cet. I, hlm.87; Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (Jakarta:Gramedia, 1987), hlm. 87.
[5] Sejarah mencatat, bahwa jauh sebelum kemerdekaan, hubungan dagang dan intellektual Indonesia dengan negara- negara Timur Tengah, khususnya Makkah atau Saudi Arabia dan Mesir sudah berlangsung secara intensif. Mengingat aturan kemigrasian waktu itu tidak seketat masa sekarang, menyebabkan orang- orang Indonesia dapat masuk dan, mukim di Arab Saudi dengan leluasa. Mereke itu dengan mudah dan leluasa dapat tinggal dan menimba ilmu agama disana sesuka hati. Karenanya banyak ulama Indonesia yang dapat mencapai tingkat kedudukan yang tertinggi dalam bidang ilmu agama dan dan keagamaan di Makkah, dengan cara diakuinya sebagai ulama yang dalam ilmunya dan disegani serta diangkat menjadi Imam besar Masjid Haram. Diantara ulama tersebut adalah Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Nawawi al- Bantani, Abdullah Ahmad. Para mukmin dan penuntut ilmu dari Indonesia yang kembali ketanah air, selanjutnya mendirikan lembaga- lembaga pendidikan, seperti Pesantren, Madrasah, sebagai mana telah disebutkan diatas. Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya 1995), cet.V, hlm. 1-17: Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam), (Jakarta: Raja Grafindo, 2000, hlm. 1-3.; Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauuan Nusantara Abad 18 (Bandung: Mizan, 2001), cet.I. hlm. 20-76.
[6] Menurut Alvin Tofler dalam bukunya The Thirt Wave bahwa kehidupan manusia dewasa ini diterpa oleh tiga gelombang kehidupan yang antara satu dengan yang lain berbeda- beda. Pertama, gelombang kehidupan masyarakat agraris yang ditandai oleh ekonomi yang bersumber pada pertanian, penggunaan teknologi tradisional, pola hubungan antar personal (pace to pace), budaya gotong royong, kurang menghargai waktu, berorientasi kebelakang, dan menyerah pada keadaan. Kedua, gelombang kehidupan masyarakat industri yang modernis yang ditandai oleh okonomi yang berpusat pada industri, penggunaan teknologi modern, pola hubungan dengan menggunakan teknologi jarak jauh, budata individualistik, amat menghargai waktu, beroientasi kedepan dan berusaha pantang menyerah mengubah keadaan. Ketiga, gelombang kehidupan masyarakat informasi yang ditandai oleh ciri- ciri pada masyarakat industri ditambah dengan kekuatan pada kemampuan mengakses sumber- sumber informasi dengan menggunakan peralatan komunikasi seperti internet, faximile, dan lain sebagainya.
[7] Di keputusan mentri Pendidikan Nasional Nomor 234 Tahun 1999 ditetapkan tentang syarat- syarat dan  prosedur berdirinya sebuah universitas. Di dalamnya dinyatakan bahwa perubahan tersebut harus dilengkapi dengan proposal yang memuat dasar pemikiran, visi, misi dan tujuan, kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, surat keputusan rapat senat, rencana induk pengembangan, dokumen- dokumen kekayaan yang dimiliki, sarana prasarana yang tersedia.
[8] Pada saat IAIN Syarif hidayatullah Jakarta melaksanakan Konsep IAIN dengan mandat yang lebih luas (IAIN with Wider Mandate) telah di buka 12 program studi umum yang seluruhnya telah mendapat izin oprasional dari Dirjen Pendidikan Tinggi Diknas dan Dirjen Bagais Depag. Dengan izin ini, maka status program studi ini sama dengan status program umum yang ada di berbagai Perguruan Tinggi yang berada di bawah naungan Depdiknas.
[9] Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru 9jakarta Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. I, hlm. xvii
[10] Surau adalah termasuk salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia pada umumnya dan di Minangkabau pada umumnya. Dalam berbagai studi yang dilakukannya, Ayumardi banyak berbicara tentang peran dan fungsi surau serta perkembangannya di era modern saat ini. Untuk ini ia menulis buku tentang surau, juga dalam buku lainya sering ia singgung. Lihat Azyumardi Azra, Islam Reformis Dinamika Intelektual dan Gerakan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), cet.I., hlm. 183- 193)
[11] Untuk lebih mendalami tentang peran dan fungsi surau serta perkembangannya, dapat dikaji lebih lanjut karya Azyumardi Azra berjudul Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, (Jakarta: Logos Waca Ilmu, 2003)
[12] Lihat pula Azyumardi Azra, Esensi- esensi Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), cet. I, hlm. 123-132.
[13] Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan, 2000), cet.I., hlm. 440-441.
[14] Sejak zaman Harun Nasution sebagai rektor, gagasan pembaharuan Islam mulai dikembangkan. Salah satu tujuannya adalah agar umat Islam berfikir rasional, kritis, dinamis dan peduli terhadap masalah- masalah sosial dan kenegaraan. Murid- murid Harun Nasution tahun 70-80 an kini sudah banyak yang jadi doktor, dan profesor. Mereka itu antara lain Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, Prof.Dr.Dien Samsudin, Dr.Fachry Ali, Prof.Dr. Azyumardi Azra, dan Dr. Syaiful Muzani. Mereka sekarang sering tampil di media televisi sebagai mass media untuk berbicara masalah politik yang berkembang di tanah air. Para ilmuan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah mewarnai  dinamika wacana perpolitikan Islam di Indonesia.
[15] Dalam bukunya yang berjudul Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme, hinggo Post Modernisme, Azyumardi Azra, banyak berbicara mengenai masalah politik dari persepektif agama. Ia misalnya berbicara tentang Islam dan dan Negara Islam, Arabisme dan Turkisme, Fundamentalisme Islam, Jihad dan Terorisme, jihad dan revolusi Iran,  Radikalisme Politik, citra Barat tentang Islam, Zionisme, Media Masa Barat dan citra Islam, serta bahasa politik dan politik bahasa. Demikian pula dalam bukunya Islam Subtantif,  Azyumardi Azra banyak berbicara tentang peran ulama dan umara, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama, Peran ICMI, peranan parpol, kiprah para tokoh politik Islam seperti Gus Dur, Megawati, Habibi, Nurcholis Majid, Amin Rais, MUI, dan Departemen Agama.
[16] Jabatan menjadi Ima Masjidil Haram amat bergengsi dan dihormati, karena tidak semua orang bisa mencapainya. Seorang Imam Masjidil Hara selain hafal Al-qur’an berikut penjelasan maksud dan kandungannya, juga harus menguasai secara luas dan mendalam tentang seluk beluk hukum Islam.

0 komentar:

Posting Komentar