Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A.
Oleh; Hikmah,S.Pd.I
A.
Dasar Pemikiran
Sejak Islam masuk ke
Indonesia, pendidikan Islam telah ikut mengalami pertumbuhan dan perkembangan,
karena melalui pendidikan Islam itulah, transmisi dan sosialisasi ajaran Islam
dapat dilaksanakan dan dicapai hasilnya sebagaimana kita lihat sekarang ini.[1]
Telah banyak lembaga pendidikan
Islam bermunculan dengan fungsi utamanya memasyarakatkan ajaran Islam tersebut.
Di Sumatra Barat kita jumpa Surau, [2]
Rangkang dan Meunasah di Aceh, Langgar di Jakarta, Tajuk di Jawa Barat,
Pesantren di Jawa, dan seterusnya. Munculnya lembaga- lembaga pendidikan
tradisional ini tidak selamanya diterima baik oleh masyarakat mengingat jauh
sebelum itu telah berkembang pula agama- agama lain seperti Hindu, Budha, dan
juga paham agama setempat dan adat istiadat yang tidak selamanya sejalan dengan
ajaran Islam.
Menghadapi yang
demikian itu, para pendidik dan juru dakwah menggunakan berbagai strategi dan pendekatan,
yaitu disamping dengan pendekatan kultural[3]
juga dengan pendekatan politis dan perkawinan.[4]
Melalui pendekatan yang dimiliki itu, Islam yang diajarkan tidak selamanya
menampilkan corak yang beragam. Kenyataan inilah yang selanjutnya
memperlihatkan alam Indonesia sebagai negara yang kaya dengan budaya, agama,
adat istiadat, dan lembaga pendidikan.
Dalam proses
sosialisasi ajaran Islam tersebut, para pendidik telah memainkan peran yang
amat signifikan dengan cara mendirikan lembaga pendidikan mulai dari tingkat
Taman Kanak- kanak, hingga Pergruan Tinggi atau Universitas. Di lembaga-
lembaga pndidikan tersebut, mereka telah mengembangkan sistem dan pendekatan
dalam poses belajar mengajar, visi dan misi yang harus dipejuangkan, kurikulum,
bahan ajar berupa buku- buku, majalah, gedung tempat berlangsungnya kegiatan
pendidikan lengkap dengan sarana dan prasarana, tradisi dan etos yang
dikembangkan, sumber dana dan kualitas lulusan yang dihasilkan.
Terjadinya proses
kegiatan pendidikan tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran tokoh sebagai
aktor utamanya. Mereka telah berhasil mendirikan surau, meunasah, langgar,
pesantren, madrasah, sekolah tinggi, akademi, institut, dan universitas.
Gerakan pendidikan Islam tersebut merata diseluruh kepulauan Indonesia, yaitu
mulai dari Aceh, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Utara, hingga kepulau Jawa,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Maluku. Melalui lembaga- lembaga yang
didirikan pada berbagai wilayah tersebut, tokoh- tokoh dimaksud telah mampu
mencetak kader- kader yang selanjutnya memimpin perjalanan kehidupan bangsa.
Upaya gerakan
pendidikan ini berlangsung dari sejak zaman pra kemerdekaan hingga zaman
kemerdekaan dan zaman modern seperti sekarang ini. Gerakan pendidikan tersebut
selain mendapat pengaruh dari dalam, yaitu corak danmodel pendidikan Belanda
serta tantangan internal dalam negri, juga dipengaruhi oleh gerakan yang
berkembang di Timur Tengah seperti Arab Saudi (Makkah), Mesir, Turki, India
pengaruh ini terjadi karena adanya hubungan yang kuat antar ulama- ulama yang
ada di Timur Tengah. [5]
Dalam menatap,
merancang dan menyiapkan visi misi dan strategi pendidikan Islam di era
globalisasi yang penuh tantangan ini, umat islam ditantang untuk berpikir dan
bekerja lebih keras lagi. Umat Islam harus mampu merumuskan konsep pendidikan
yang sesuai dengan zamannya. Upaya ini menuntut adanya pemikiran, gagasan, dan
saran- saran yang konstruktif. Umat islam perlu melihat dan belajar serta
bersikap terbuka terhadap pemikiran dan gagasan yang datang dari manapun.
Dalam kerangka
pemikiran yang demikian itu, maka sepakat untuk mengikui pendapat yang
mengatakan bahwa apa yang dilakukan sekarang adalah merupakan buah dari
perbuatan masa lalu, dan perbuatan masa depan adalah merupakan buah dari
perbuatan yang dilakukan dimasa sekarang. Teori yang pada intinya menekankan
kesaling pengaruh mempengaruhi ini menarik untuk digunakan sebagai strategi
melihat masa lalu dalam rangka menatap masa depan.
Seiring dengan hal
tersebut sudah saatnya bagi kita untuk mengkaji gagasan, pemikiran, dan
pendapat dari para pemikir pendidikan masa lalu untuk dijadikan masukan bagi
penyusunan konsep pendidikan masa depan setelah terlebih dahulu melakukan
proses analisis, dialektika internal inilah antara lain yang mendasari
pemikaran tokoh pendidikan Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
Riwayat Hidup Prof. Dr. Azyumardi Azra,
M.A. ?
2.
Bagaimanakah
Gagasan dan Pemikiran Pendidikan Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. dalam
Pembaharuan Pendidikan di IAIN ?
3.
Bagaimanakah
Gagasan dan Pemikiran Pendidikan Islam Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. ?
C.
Riwayat Hidup Azyumardi Azra
Hingga saat ini kondisi
Perguruan Tinggi Islam yang berada di bawah naungan Departemen Agama semacam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) belum seluruhnya dipandang sejajar dengan
Perguruan Tinggi Umum yang berada di bawah naungan Departemen
PendidikanNasional. Lulusan Perguruan Tinggi Islam masih memiliki keterbatasan
peluang dalam memasuki lapangan kerja yang disebabkan karena keahlian yang
dimilikinya, yakni hanya ilmu agama Islam. Prof. Dr. Azyumardi Azra, melalui
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah berhasil mengubah
citra perguruan tinggi Islam sebagai perguruan tinggi yang sejajar dengan
perguruan tinggi yang di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. Bahkan
kini, UIN yang dipimpinnya menjadi universitas Islam terbaik di Asia Tenggara.
Berbagai komponen pendidikan, mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum,
kompetensi dosen, proses belajar mengajar, sarana prasarana, sudah ditingkatkan
menjadi taraf nasional, bahkan internasional. UIN yang dipimpinnya telah
menjadi kebanggaan umat dan bangsa Indonesia.
Azyumardi Azra, lahir
pada tanggal 4 Maret 1955 di Lubuk Alung Sumatra Barat. Pendidikan awalnya
dimulai dari Sekolah Dasar SD dekat rumahnya kemudian melanjutkan ke Sekolah
Pendidikan Agama Negeri (PGAN) Padang, setelah menyelesaikan sekolah PGAN
beliau melanjutkan ke IAIN Jakarta. Semasa kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Azyumardi Azra bukan hanya dikenal sebagai seorang aktivis lapangan
yang terlibat dalam hal- hal pragmatis, melainkan ia juga sebagai seorang
pemikir. Hal ini terlihat pada saat ia memegang jabatan di dua organisasi intra
dan ekstra kampus, ia juga sebagai wartawan dimajalah Panji Masyarakat. Setelah lulus dari IAIN, pada tahun 1986 beliau
mendapat beasiswa dari Fullbrigt yang disediakan oleh pemerintah Amerika
Serikat untuk melanjutkan program s2 di Universitas Columbia, NewYork dan
belajar sejarah disana. Dari jurusan ini beliau mendapat gelar MA-nya pada
Departemen Bahasa dan kebudayaan Timur Tengah 1988.
Selanjutya melalui
program Columbia University President Fellowship, melanjutkan pada Departemen
Sejarah, beliau memperoleh gelar MA kedua pada tahun 1989 dan gelar M. Phil,
yang akhirnya dari jurusan sejarah ini juga mendapat gelar Ph.D-nya yang
dianjutkan dengan mengikuti program post doctoral di Universitas Oxford selama
satu tahun 1995- 1996. Setelah beliau kembali dari studinya beliau melanjutkan
aktivitasnya sebagai editor in Chief di jurnal Studia Islamika, Wakil Direktur
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Pembantu Rektor Bidang Akademik
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang kemudian beliau diangkat menjdai Rektor
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain kesibukannya sebagai rektor beliau
tetap melakukan aktif menulis, mengedit dan menerjemahkan puluhan buku,
Azyumardi Azra juga aktif menulis berbagai artikel yang ia sampaikan dalam
berbagai forum seminar baik di dalam maupun luar negeri.
Berdasarkan
riwat hidup sebagaimana tersebut di atas, kita dapat mencatat berbagai hal. Pertama, beliau adalah seorang ilmuan
muslim dengan bidang keahlian yang utama dalam bidang sejarah yang ditunjang
oleh penguasaan yang luas dalam bidang ilmu agama seperti filsafat, teologi,
tasawuf aliran modern, politik, dan pendidikan. Kedua, beliau adalah tipe pekerja keras yang cepat dan
perfeksional. Ketiga, beliau adalah
seorang ilmuan sekaligus cendikiawan sebagai mana terlihat tingginya komitmen
pada perbaikan nasib umat Islam. Keempat,
beliau adalah seorang yang tegas, penuh tanggaung jawab, amanah dan sederhana.
Dengan sikap dan pola hidup yang demikian itu, maka orang banyak mengambil
pelajaran dan keteladanan dari berbagai kebijakan yang diambilnya.
D.
Gagasan dan Pemikiran Pendidikan
Gagasan dan pemikiran
pendidikan Azyumardi Azra, dapat ditelusuri dari sejumlah karya tulisnya serta
berbagai kebijakan yang diambilnya selama ia menjabat sebagai Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Gagasan dan pemikirannya tersebut dapat dikemukakan
sebagai berikut.
Pertama, Perubahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Terjadinya perubahan IAIN menjadi UIN tersebut dilakukan oleh
serangkaian kebijakan dan langkah- langkah yang dilakukan oleh para pejabat UIN
setahap demi setahap. Dalam kaitan ini paling kurang ada tiga tahap yang
mempengaruhi terjadinya perubahan tersebut.
1.
Tahap perintisan
dan penjajagan.
Yang dilakukan di zaman
Prof. Dr.Harun Nasution sebagai rektor. Sebagai seorang yang berpikiran modern
dan rasional, Harun Nasution melihat bahwa IAIN yang ada sekarang sudah tidak
cocok lagi dengan kebutuhan zaman. Sejak berdirinya IAIN sebagai ADIA di tahun
1957 hingga tahun 1980-an sudah banyak perubahan yang terjadi baik dalam bidang
sosial,[6]
ekonomi, politik, kebudayaan, kemajuan ilmu pengetahuan, serta pola kerja. Perubahan
tersebut menuntut adanya manusia- manusia yang berbeda dengan manusia- manusia
pada masyarakat agraris. Sekarang kita hidup di era industrialisai yang serba
modern. Era ini membutuhkan manusia selain yang memiliki akhlak dan kepribadian
yang baik, juga harus menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, ketrampilan, dan
berwawasan modern seperti, inovatif, kreatif, progresif, demokratis, ulet,
kerja keras, menghargai waktu, berpandangan jauh kedepan dan dinamis. Jika IAIN
ingin tetap eksis dan dibutuhkan zaman, maka ia harus mengadakan pnyesuaian
dengan berubah menjadi universitas. Untuk lebih mematangkan gagasan ini, di
zaman Harun Nasution dilakukan serangkaian penelitian, seminar, studi banding
kberbagai negara, untuk mendapat masukan yang diperlukan
2.
Tahap pelanjutan
dan pematangan konsep.
Tahap ini terjadi pada
zaman Prof. Dr.H.M. Qurais Shihab sebagai rektor. Setelah Harun nasution tidak
menjabat sebagai rektor, gagasan untuk melakukan perubahan IAIN manjadi UIN
mangalami masa kevakuma bberarapa saat. Di zaman H.M. Qurais Shihab upaya
melakukan perubahan IAIN menjadi UIN tersebut dilanjutkan kembali. Upaya ini
dilakukan dengan cara menyusun proposal perubahan IAIN menjadi UIN yang lengkap
dan komprehensif dibawh koordinasi Prof. Dr. Azyumardi Azra, sebagai Rektor
Pembantu Bidang Akademik. Di dalam proposal tersebut secara lebih langkap dan
menyakinkan, penambahan fakultas serta berbagai perangkat sarana dan prasarana
yang dibutuhkan, termasuk aspek anggaran yang dibutuhkan. Diantara alasan yang
mendasari perubahan IAIN menjadi UIN adalah:
a.
Untuk memberikan
peluang mendapatkan pendidikan tinggi yang lebih luas kepada tamatan madrasah.
Hal ini terjadi, karena dengan berubhnya IAIN menjadi UIN akan bertambah jumlah
fakultas dan program studi yang berdampak pada penambahan jumlah mahasiswa yang
dapat diterima.
b.
Agar tamatan UIN
dapat memasuki dunia lapangan kerja yang lebih luas. Hal ini terjadi, karena
dengan dibukanya fakultas umum di samping fakultas- fakultas agama yang telah
ada, tamatan UIN tidak hanya dapat bekerja di lembaga- lembaga keagamaan
seperti Departemen Agama, Madrasah dan Pesantren, melainkan dapat juga bekerja
di berbagai sektor yang lebih luas seperti di perbankkan, perusahan- perusahaan
industri dan jasa, serta berbagai kgiatan lainnya.
c.
Agar UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dapat menampung tamatan Madrasah Aliyah yang keadaannya
sudah menjadi SMU yang bercorak keagamaan.
d.
Untuk
meningkatkan martabat Perguruan Tinggi Islam yang berada di bawah Departemen
Agama sehingga sejajar dengan martabat perguruan umum yang berada di bawah
naungan Departemen Pendidikan Nasional, dan jika dimungkinkan lebih tinggi lagi
martabatnya. Hal yang demikian perlu di lakukan, mengingat IAIN yang ada
sekarang masih sering diposisikan sebagai perguruan tinggi kelas dua dan
dimarjinalkan atau dilihat sebelah mata. Mereka yang kuliah di ITB misalnya,
melihat bahwa masuk IAIN tidak sesulit masuk perguruan tinggi bergengsi seperti
UGM, ITB, UI, dll. Masuk IAIN misalnya, hanya melalui testing yang didakan
mereka sendiri, seangkan masuk perguruan tinggi bergengsi tersebut harus
melalui ujian SPMB yang amat berat. Dengan perubahan IAIN menjadi UIN, maka
disamping melalui ujian lokal, masuk UIN juga melalui SPMB.
3.
Tahap pematangan
gagasan dan implementasi.
Tahap ini terjadi pada
zaman Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. sebagai rektor. Pada tahap ini proposal yang memuat gagasan
dan pemikiran perubahan IAIN menjadi UIN yag telah dibuat pada zaman sebelumnya
disempurnakan sesuai ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku.[7]
Proposal disampaikan kepada Mentri Pendidikan Nasional setelah
mengkoordinasikan dengan Mentri Agama, khususnya Direktur Jendral Kelembagaan
Agama Islam (Bagis) Departemen Agama RI. Dengan menunggu keputusan perubahan
tersebut, Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A. Memperkenalkan konsep IAIN dengan
mandat yang lebih luas. Disamping menyelanggarakan program studi agama yang
telah ada sebelumnya, IAIN juga meyelanggarakan program studi umum, sperti
agribisnis, teknik informatika, menejenmen akutansi, ekonomi.[8]
Kedua,
Pengembangan fakultas dan program studi. Ketiga, Pengembangan sarana dan
prasarana. Keempat, Perubahan dan pengembangan pusat- pusat studi dan
kerja sama. Kelima, Peningkatan kesejahteraan dosen dan karyawan.
Selain melakukan
berbagai upaya konkrit sebagai mana tersebut diatas, Azyumardi Azra juga
memiliki sejumlah pemikiran tentang pendidikan Islam yang bersifat konseptual
dan strategis sebagai berikut:
1.
Perlunya
modernisasi pendidikan Islam
Didalam bukunya Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
Menuju Millenium Baru , Azyumardi Azra mengemukakan gagasannya tentang
modernisasi pendidikan Islam yang di hubungkan dengan tantangan abad ke-21 dan
era globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan berdasarkan
pada pendekatan bidang sejarah sebagai bidang keahliannya, Azyumardi Azra
mengajukan saran- saran upaya modernisasi pendidikan Islam tersebut antara lain
melalui pengembangan kajian Islam sebagai disiplin keilmuan universitas,
peninkatan kualitas sumber daya manusia, serta pembentukan- pembentukan sekolah
yang unggul. Dalam hubungan ini ia mengatakan: “Jika kaum Muslimin, termasuk
Indonesia tidak hanya ingin sekedar survive
di tengah persaingan global yang semakin
tajam dan ketat, tetapi juga berharap mampu tampil kedepan, maka reorientasi
pemikiran mengenai pendidikan Islam dan restrukturisasi sistem dan kelembagaan
jelas merupakan keniscayaan. Cara pandang yang menganak tirikan iptek tampak
tidak bisa dipertahankan lagi.”[9]
Namun demikian, modernisasi yang didasarkan pada ajaran Islam yang pada
prisipnya sangat modern. Untuk ini ia mengatakan: “Pengamalan ilmu pengetahuan
atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat manusia merupakan
karakteristik Pendidikan Islam berikutnya. Di sini suatu pengetahuan bukan
hanya untuk diketahui dan dikembangkan, melainkan sekaligus dipraktikan dalam
kehidupan nyata. Dengan demikian, terdapat konsistensi terhdap apa- apa
yang diketahui dengan pengamalannya
dalam kehidupan sehari- hari. Menurutnya di dalam Islam mengetahui suatu ilmu
pengetahuan sama petingnya dengan pengalamannya secara konkrit.”
Hal tersebut
memperlihatkan bahwa, bagi Azyumardi, gagasan modernisai pendidikan Islam
sebagaimana tersebut diatas hendaknya tidak hanya menjadi wacana, melainnkan
harus menjadi kenyataan dan dipraktikan. Praktik tersebut telah terlihat dalam
berbagai upaya pembaharuan yang dilakukannya pada UIN Syarf Hidayatulah Jakarta
sebagaimana telah disebutkan di atas. Dalam konteks ini kita dapat mengatakan,
bahwa Azyumardi bukan hanya sebagai seorang pemikir teoritis tentang pendidikan
Islam, melainkan juga sebagai seorang praksis tentang pendidikan Islam.
Tampaknya bagi Azyumardi bahwa ide dan kenyataan harus dibangun bersama- sama,
karena dengan cara itulah sebuah ide dapat dirasakan manfaatnya. Dengan
mengambil contoh yang sederhana, keliaanya antara jiwa dan raga, jasmani dan
rohani, dunia dan akhirat, ilmu dan agama, dan berbagai keseimbangan lainnya
sebagaimana ditekankan dalam ajaran Islam dapat menjadi sebuah realitas yang
dirasakan manfaatnya.
Gagasan pembaharuan
pendidikan Islam yang dikemukakan Azyumardi Azra juga mencakup pembaharuan
pesantren dan surau.[10]
Dalam konteks pesantren yang ada di Indonesia, Azyumardi mencoba menganalisis
tentang sebab- sebab mengapa pesantren dapat terus bertahan dalam menghadapi
tantangan modernisasi. Sebab- sebab tersebut menuntut pengamatan Azyumardi
Azra, adalah karena pesantren dapat merespons perkembangan yang terjadi
disekitarnya tanpa meninggalkan ciri aslinya. Repons tersebut dengan cara
mendirikan madrasah dikomplek pesantren masing- masing, mendirikan pendidikan
umum di bawah sistem Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan kata lain,
pesantren bukan hanya mendirikan madrasah, tetapi juga sekolah umum, yang
mengikuti sistem dan kurikulum Dpartemen D & K.
Selanjutnya mengenai
surau[11]
Azyumardi mengatakan bahwa surau dan sistem pendidikannya yang khas kembali
mencapai puncak kejayaan hingga abad ke-20, ketika pendidikan sekuler Belanda
dan madrasah diperkenalkan kelompok Muslim Modernis. Bukti- bukti menunjukan
bahwa pendidikan surau tetap memainkan peran penting bagi masyarakat Islam
Minangkabau sepanjang abad ke-19. Namun dalam masa kemerdekaan, hanya beberapa
surau saja yang bertahan, bahkan di masa- masa akhir sebagian mulai menanamkan
diri sebagai “pesantren”. Sedangkan surau sendiri hanya sekedar tempat untuk
membaca Al-qur’an atau arena sosialisasi anak- anak dan remaja.
Motivasi yang demikian
kuat mendorong Azyumardi Azra untuk melakukan modernisasi pendidikan Islam sebagaimana
tersebut di atas karena lingkungan di mana ia hidup dan menimba ilmu
pengetahuan yaitu IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, HMI serta pendidikannya di
luar negeri berada dalam suasana modernisasi. Sejak masih mahasiswa ia sudah
banyak mendalami ide- ide modern yang dikemukakan oleh para tokoh pembaharu
Islam dari berbagai dunia.
Tidak hanya pada
lembaga pendidikan dasar dan menengah, pembaharuan pendidikan juga terjadi pada
lembag pendidikan tinggi. Untuk itu ia mengemukakan gagasan dan pemikiran tentang
pembaharuan IAIN dan pengembangan intelektual Muslim serta berbagai aspeknya
yang terkait, termasuk masalah perubahan orientasi antara Barat dan Timur,
serta orientasi kurikulum. Berkaitan dengan pengembangan IAIN, ia mengajukan
rekomendasi berupa:
1)
Reformulasi
tujuan IAIN
Ia berharap sebagai training center , IAIN juga lebih mengfungsikan diri sebagai pusat
penelitian dan pengembangan pembaharuan pemikiran Islam.
2)
Restrukturisasi
kurikulum
Azyumardi mengatakan:” sebagai pusat dan keilmuan
dan penelitian Islam, seyogyanya jurusan- jurusan di IAIN yang berkaitan dengan
disiplin keagaman selain lebih menekuni bidang Islamic Studies , hendaknya juga memberikan kesempatan bagi
penguasaan prinsip dari kerangka teori ilmu umum”.
3)
Simplikasi beban
perkuliahan
Akibat penetrasi subjek yang tidak terlalu relevan
dengan Islamic Studies, maka beban
perkuliahan menjadi amat berat. Overloaded
ini juga terjadi pada program Pascasarjana. Idealnya beban mahasiswa setiap
semester tidak lebih dari 5 mata kuliah.
4)
Dekompartementalisasi
Menurutnya dewasa ini, terjadi kompartementalisasi
yang cukup parah dalam IAIN dalam bentuk fakultas dan jurusan sejak mahasiswa
masuk kuliah. Akibat kompartementalisasi ini, mahasiswa cenderung mempunyai
pemahaman yang terpilah- pilah tentang Islam.
5)
Liberalisasi
sistem SKS
Mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih bidang
studi yang mereka minati. Demikian pula, hendaknya dosen memberikan penawaran
mata kuliah baru, sesuai dengan keahliannya
dan tuntunan perkembangan keilmuan dan zaman.
Berkaitan dengan
liberalisasi kurikulum tersebut, Azyumardi juga menyampaikan kritik dan saran
yang di sampaikan selama program orientasi kurikulum 1995, yang meliputi:
a)
Menyangkut
penyempurnaan isi dan atau topik- topik inti di dalam kurikulum.
b)
Menyangkut
pembinaan mata kulian pada tingkat nasional.
c)
Penyediaan
tenaga pengajar yang qualified untuk
mengajar mata kuliah tertentu.
d)
Penyediaan buku
dasar dan literatur yang memadai.
e)
Peningkatan
input IAIN melalui seleksi yang lebih ketat.
f)
Peningkatan mutu
perkuliahan melalui program pertukaran dosen, baik sesama antar IAIN maupun
dengan luar negeri.
g)
Penyediaan
prasarana penunjang pengajaran yang lebih memadai.
Selanjutnya mengenai
Barat dan Timur, Azyumardi berpendapat:” corak kajian Islam, baik dengan
pendekatan Barat maupun Timur Tengah, adalah bagian yang absah dari diskursus
intelektualisme Islam di Dunia Muslim. Kedua corak ini seharusnya tidaklah
dipertentankan, karena itu hanya kan counter-productive,
melainkan harus dipandang sebagai komplementer satu sama lain. Bahkan,
kedua pendekatan ini, sebaiknya dipadukan atau diharmonisasikan sedemikian rupa
untuk mendinamisasikan pemikiran Islam di tanah air.[12]
2.
Tugas dan misi
Departemen Agama
Dalam tulisannya yang
berjudul “Departemen Agama: Lebih Demokratis dan Transparan,” Azyumardi
mengatakan: bahwa latar belakang berdirinya Departemen Agama, baik tugas peran
maupun misinya, berbeda dengan departemen yang lain. Selain itu, mengenai
otonomi daerah, harus dirumuskan batasan- batasannya. Departemen perlu cepat
menyusun konsep untuk masukan RUU dari berbagai aspek dan implikasinya, dari
berbagai hal, yakni tugas dan misi Departemen Agama. Masalahnya bukan hanya
Departemen Agama, melainkan masalah umat. Untuk menciptakan kondisi yang
kondusif, pejabat Departemen Agama harus proaktif menyampaikan penjelasan-
penjelasan dan melakukan sosialisasi mengenai tugas dan misi Departemen Agama
terutama dalam bidang pendidikan. [13]
3.
Politik
pendidikan
Azyumardi Azra adalah
termasuk salah satu cendekiawan Muslim dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang banyak berbicara tentang politik.[14]
Perbincangan masalah politik diberbagai mass media baik cetak maupun elektronik
banyak diwarnai oleh pemikiran Azyumardi Azra. Pandangan- pandanganya tentang
politik diakui sangat objektif, lugas, netral, berani dan orisinal. Demikian
pula dalam berbagai buku yang ditulisnya banyak yang bertemakan politik.[15]
Namun demikian, politik baginya bukan tujuan, melainkan hanya sebagai alat.
Azyumardi menginginkan agar politik berpihak kepada upaya penegakan demikrasi,
keadilan, pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan dan hak-
hak asasi manusia lainya. Melalui politik, pendidikan Islam hendaknya dapat
ditingkatkan untuk membawa kemajuan bangsa dan negara.
4.
Jaringan ulama
dan pembaharuan Islam di Wilayah Melayu Indonesia Abad ke Delapan Belas
Dalam
bukunya yang berjudul Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Azyumardi banyak
berbicara tentang hubungan awal Muslim Nusantara dengan Timur Tengah serta
jaringan Ulama internasional. Melalui buku ini ia ingin membangun kebanggaan
pada diri umat Islam Indonesia dalam hubungannya dengan umat Islam di berbagai
dunia. Hal demikian dapat di lihat dari sejumlah temuan Azyumardi yang sangat
meyakinkan, bahwa apada abad XVII dan XVIII orang- orang Indonesia yang menjadi
ulama besar di Makkah dan Madinah. Mereka selain dipercaya sebagai Imam
Masjidil Haram,[16] juga sebagai ulama tempat
di mana umat Islam dari berbagai belahan dunia yang berada di Makkah dan
Madinah belajar kepada mereka. Diantara ulama Indonesia yang mencapai derajat
yang demikian adalah Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Nawawi al-Bantani, Syaikh
Ahmad Sambas. Melalui informasi ini, Azyumardi Azra secara tidak langsung
mengharapkan agar umat Islam sekarang dapat meningkatkan ilmu agamanya dan
sekaligus mengambil peran sebagaimana para ulama di masa lalu memerankannya.
E.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis diatas dapat
disimpulakan sebagai berikut:
1.
Dilihat dari
segi aktifitasnya, Azyumardi Azra adalah seorang tokoh yang tidak hanya mampu
berfikir teorotis melainkan sekaligus mengaplikasinya menjadi sebuah realitas.
Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan yang ia capai baik semasa memimpin
organisasi intra dan ekstra kampus, maupun sebagai rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta selama periode (1998-2002, dan 2003-2006). Pada masa
kepemimpinan ini, mencapai tingkat kemajuan yang belum pernah dicapai
sebelumnya. Perubahan IAIN menjadi UIN yang membawa implikasi pada penambahan
fakultas, jurusan, dsb.
2.
Dilihat dari
segi gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan, tidak dapat diragukan
lagi, bahwa Azyumardi Azra dapat dikategorikan sebagai seorang sejarawan yang
menggunakan keahlian itu untuk kepentingan pengembangan pendidikan. Untuk itu
ia memiliki gagasan dalam bidang kelembagaan, khusunya UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, pengembangan pesantren dan madrasah, visi pengembangan pendidikan Islam
dan epistemologi ilmu, perbandingan pendidikan di Timur Tengah dan di Barat,
peran serta masyarakat dalam pemberdayaan pendidikan keagamaan, pengembangan
sumber daya manusia bagi pendidikan, serta pengamatannya terhadap berbagai
fenomena baru dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, corak pemikiran
pendidikan Azyumardi adalah memadukan antara unsur lama yang masih relevan
dengan unsur baru yang lebih relevan.
3. Dilihat dari segi praksisnya, gagasan dan pemikiran
pendidikan Azyumardi Azra, bukan hanya tercatat dalam lembaran kertas melainkan
telah menjadi kenyataan, dan dapat dirasakan manfaatnya bagi perbaikan rakyat
Indonesia, khususnya pada perbaikan nasib bangsa Indonesia, khususnya pada
perbaikan nasib pendidikan umat Islam, melalui UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai tempat dimana ia mengabdikan dirinya.
Dari
berbagai uraian diatas, terlihat bahwa Azyumardi Azra selain sebagai ahli
sejarah Islam yang berfikiran luas, mendalam, lugas, kritis dan objektif, juga
sekaligus sebagai seorang praktisi pendidikan Islam. Padanya terhimpun antara
cita- cita dan fakta, antara ide dan pelaksanaan secara seimbang. Berbagai
keahlianya dalam bidang sejarah dan ilmu agama Islam, termasuk bidang politik
telah ia gunakan untuk membangun dan mengangkat derajat dan martabat bangsa,
khusunya umat Islam. Dari seluruh gagasan dan pemikirannya terlihat bahwa ia
adalah seorang modernis yang memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan cita-
cita ajaran Islam melalui kegiatan pendidikan, yang pada gilirannya membawa
kemajuan bagi bangsa dn negara.
Daftar Pustaka
Abbudin
Nata. 2005. Tokoh- Tokoh Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo.
Azyumardi
Azra. 1998. Esensi- esensi Intelektual Muslim
dan Pendidikan Islam. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
_____________. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
_____________. 2003. Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
_____________.1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII. Bandung: Mizan.
_____________.1996. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hinggga
Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.
[1] Terdapat banyak sekali teori
tentang masuknya Islam ke-Indonesia. Sebagian ada yang berpendapat bahwa Islam
masuk ke Indonesia sejak zaman Nabi Muhammad Saw, di abad ke-7 Masehi. Sebagian
lainnya berpendapat bahwa islam masuk Indonesia pada abad ke-13, abad dimana
Islam sudah mengalami kemunduran dan menampilkan corak pemahaman yang
eksklusif, normatif, dan tekstualis, tanpa peduli dengan perkembangan
masyarakat dan perkembangan zaman. Islam tampil dalam sosoknya yang hanya
mementingkan kehidupan spiritualis keagamaan. Berbagai pendapat yang demikian
dapat diterima dan dipertemukan dengan mengatakan, bahwa Islam yang datang pada
abad ke-7 Masehi adalah Islam yang bersifat individual, perorangan dan
perdagangan, mengingat orang- orang Islam yang datang ke Indonesia melalui Aceh
misi utamanya adalah berdagang. Penemuan orang makam orang Arab pada masa itu
misalnya, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa ia orang Islam. Boleh jadi
itu orang Arab yang belum beragama Islam, meningat jauh sebelum datangnya Islam,
orang Arab sudah ada yang datang ke Aceh untuk tujuan perdagangan. Sedangkan
Islam yang datang abad ke-13 dapat dikatakan Islam yang telah mengemban misi
sosial kemasyarakatan sosial dan dakwah. Mengingat mereka yang datang pada masa
itu sudah mulai menyebarkan ajaran Islam melalui dakwah dan pendidikan. Lihat
Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat,
(Jakarta:Bulan Bintang, 1986), cet.I, hlm.56-76; Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta:
LP3S,1985), cet.I, hlm.52-66.
[2] Jauh sebelum Islam datang ke
Sumatra Barat, didaerah tersebut telah ada Surau. Lembaga ini pada mulanya
sebagi tempat berkumpulnya anak laki- laki yang belum kawin atau orang laki-
laki dewasa yang telah bercerai dengan istrinya. Fungsi Surau yang seperti itu
merupakan implikasi dari struktur sosial masyarakat Sumatra Barat yang
menempatkan posisi laki- laki dalam keluarga sebagai yang kurang beruntung.
Anak laki- laki tidak memiliki kamar dirumahnya, dan posisi wanita yang lebih
beruntung. Keadaan ini memaksa anak laki- laki untuk tinggal di Surau. Selain
itu, Surau juga berfungsi sebagai tempat persinggahan para musyafir, praktik
adat, perpantun, dan sebaginya. Setelah Islam masuk ke Sumatra Barat, fungsi
Surau mengalami perkembangan, yaitu selain melaksanakan fungsi- fungsi sebagai
mana tersebut diatas, juga sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan agama
tingkat dasar, yaitu tempat pengajaran Al- Qur’an, praktik ibadah, rukun iman,
dan akhlak mulia. Lihat Ayzumardi Azra,
Surau, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), cet.I, hlm.45-67.
[3] Pendekatan kultural alam
melaksanakan dakwah dan pendidikan sudah dilakukan sejak dari Rasulallah Saw.
Pada masa itu Rasulallah menjumpai masyarakat Arab yang sudah memiliki adat
istiadat dan kebudayaan yag sudah berakar. Diantara mereka sudah terbiasa
melakukan judi, minum-minuman keras, judi, zina, dan lainsebagainya. Menghadapi
yang demikian itu Rasulallah mencoba melakukan tiga hal. Pertama, berusaha memperkuat tradisi yang ada yang tidak
bertentangan dengan syara’, seperti tradisi menghormati orang tua dan orang-
orang yang lebih senior, dan tradisi berkelompok. Dalam kaitan ini sangat
terkenal sekali haditsnya yang mengatakan al-
adat muhakamat (tradisi itu dapat menjadi undang- undang dan penetapan
hukum), dan dalam ilmu usul fiqih (Kaidah- kaidah Penetapan Hukum) kita
menjumpai salah satu sumber hukum yang disebut ‘Urf, yaitu segala sesuatu yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat
namun tidak bertentangan dengan syara. Kedua
,berusaha memperbaiki fisi dan misinya. Dalam kaitan ini kita jumpai
syariat berhari raya dan kurban. Jauh sebelum Islam, masyarakat Arab sudah
terbiasa menyelanggarakan hari raya satu tahun dua kali yang diisi dengan pesta
puisi, minum minuma keras, dan foya- foya. Tradisi berhari raya ini diteruskan
dengan cara memperbaiki materi dan isi dalam penyelanggaraannya, yaitu dengan
melakukan ibadah, pendekatan diri pad Allah, dengan menyebut namaNya, berbuat
kebaikan pada fakir miskin. Demikian berkurban yang semula dilakukan dalam
rangka mempersembahkan sesuatu pada dewa diganti dengan upaya pendektan pada
Tuhan, dengan cara menyembelih hewan kurban yang dagingnya diberikan pkepada
fakir miskin. Ketiga, berusaha menghapuskannya, yaitu menghapus tradisi yang
tidak sesuai dengan syara’ dengan cara yang amat bijaksana, bertahap (gradual)
tanpa menimbulkan konflik, permusuhan. Keadaan demikian dijumpai oleh para juru
dakwah dan pendidik di Indonesia, dan dilakukan dengan cara sebagaimana di
lakukan Rasulallah Saw. Lihat Ahmad Khudlari Bek, Tarikh Tasyri al-Islamy, (Mesir: Dar al- Ma’arif, 1985), hlm.
56-60; Abd al-Wahhab al- Khallf, Ilmu
Ushul al- Fiqh, (Mesir: Dar al- Ma’arif, 1987), hlm. 70-91.
[4] Sejarah mencatat, bahwa Islam
datang ke Indonesia, kondisi situasi alam Indonesia yang luas dan kaya akan
budaya ini diwarnai dengan adanya beragam agama, dan kerajaan- kerajaan. Agama-
agama yang ada sebelum Islam anatara lain agama budaya setempat (animisme-
dinamisme), Hindu dan Budha. Sedangka kerajaan- kerajaan yang ada sebelumnya
diwarnai pula oleh agama tersebut. Ada kerajaan yang bercorak Hindu seperti
Kerajaan Mulawarman di Sumatra Selatan, Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat,
Kerajaan Majapahit di Jawa Timur serta kerajaan lain yang pada umumnya di
daerah pedalaman. Keadaan tersebut berbeda dengan daerah pesisir yang pada
umumnya belum dikuasai oleh agama dan kerajaan- kerajaan tersebut. Daerah ini
relatif mudah untuk diislamkan. Sedangkan daerah pedalaman yang sudah terdapat
kerajaan tersebut terpaksa harus menggunakan pendekatan politik dan perkawinan,
yaitu pendekata yang mencoba menaklukan
kerajan dengan memilih waktu yang tepat, saat kerajaan lemah, serta dengan cara
mengislamkan putra- putra mahkota. Dengan cara demikian, tanpa adanya perang
dan konflik, Islam dapat masuk ke daerah tersebut dan kerajaan dapat dikuasai.
Lihat Yusuf Abdulah Fuar, Proses masuknya
Islam ke Indonesia, (Jakarta:Mutiara, 1981), cet. I, hlm.87; Harry J.
Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit,
(Jakarta:Gramedia, 1987), hlm. 87.
[5] Sejarah mencatat, bahwa jauh
sebelum kemerdekaan, hubungan dagang dan intellektual Indonesia dengan negara-
negara Timur Tengah, khususnya Makkah atau Saudi Arabia dan Mesir sudah
berlangsung secara intensif. Mengingat aturan kemigrasian waktu itu tidak
seketat masa sekarang, menyebabkan orang- orang Indonesia dapat masuk dan,
mukim di Arab Saudi dengan leluasa. Mereke itu dengan mudah dan leluasa dapat
tinggal dan menimba ilmu agama disana sesuka hati. Karenanya banyak ulama
Indonesia yang dapat mencapai tingkat kedudukan yang tertinggi dalam bidang
ilmu agama dan dan keagamaan di Makkah, dengan cara diakuinya sebagai ulama
yang dalam ilmunya dan disegani serta diangkat menjadi Imam besar Masjid Haram.
Diantara ulama tersebut adalah Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Nawawi al- Bantani,
Abdullah Ahmad. Para mukmin dan penuntut ilmu dari Indonesia yang kembali
ketanah air, selanjutnya mendirikan lembaga- lembaga pendidikan, seperti
Pesantren, Madrasah, sebagai mana telah disebutkan diatas. Lihat Mahmud Yunus,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Mutiara Sumber Widya 1995), cet.V, hlm. 1-17: Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam),
(Jakarta: Raja Grafindo, 2000, hlm. 1-3.; Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauuan Nusantara Abad 18
(Bandung: Mizan, 2001), cet.I. hlm. 20-76.
[6] Menurut Alvin Tofler dalam
bukunya The Thirt Wave bahwa
kehidupan manusia dewasa ini diterpa oleh tiga gelombang kehidupan yang antara
satu dengan yang lain berbeda- beda. Pertama,
gelombang kehidupan masyarakat agraris yang ditandai oleh ekonomi yang
bersumber pada pertanian, penggunaan teknologi tradisional, pola hubungan antar
personal (pace to pace), budaya
gotong royong, kurang menghargai waktu, berorientasi kebelakang, dan menyerah
pada keadaan. Kedua, gelombang kehidupan
masyarakat industri yang modernis yang ditandai oleh okonomi yang berpusat pada
industri, penggunaan teknologi modern, pola hubungan dengan menggunakan
teknologi jarak jauh, budata individualistik, amat menghargai waktu,
beroientasi kedepan dan berusaha pantang menyerah mengubah keadaan. Ketiga, gelombang kehidupan masyarakat
informasi yang ditandai oleh ciri- ciri pada masyarakat industri ditambah
dengan kekuatan pada kemampuan mengakses sumber- sumber informasi dengan
menggunakan peralatan komunikasi seperti internet, faximile, dan lain
sebagainya.
[7] Di keputusan mentri Pendidikan
Nasional Nomor 234 Tahun 1999 ditetapkan tentang syarat- syarat dan prosedur berdirinya sebuah universitas. Di
dalamnya dinyatakan bahwa perubahan tersebut harus dilengkapi dengan proposal
yang memuat dasar pemikiran, visi, misi dan tujuan, kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki, surat keputusan rapat senat, rencana induk pengembangan, dokumen-
dokumen kekayaan yang dimiliki, sarana prasarana yang tersedia.
[8] Pada saat IAIN Syarif
hidayatullah Jakarta melaksanakan Konsep IAIN dengan mandat yang lebih luas (IAIN with Wider Mandate) telah di buka
12 program studi umum yang seluruhnya telah mendapat izin oprasional dari
Dirjen Pendidikan Tinggi Diknas dan Dirjen Bagais Depag. Dengan izin ini, maka
status program studi ini sama dengan status program umum yang ada di berbagai
Perguruan Tinggi yang berada di bawah naungan Depdiknas.
[9] Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
Menuju Millenium Baru 9jakarta Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. I, hlm. xvii
[10] Surau adalah termasuk salah satu
lembaga pendidikan tertua di Indonesia pada umumnya dan di Minangkabau pada
umumnya. Dalam berbagai studi yang dilakukannya, Ayumardi banyak berbicara
tentang peran dan fungsi surau serta perkembangannya di era modern saat ini.
Untuk ini ia menulis buku tentang surau, juga dalam buku lainya sering ia
singgung. Lihat Azyumardi Azra, Islam Reformis Dinamika Intelektual dan
Gerakan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), cet.I., hlm. 183- 193)
[11] Untuk lebih mendalami tentang
peran dan fungsi surau serta perkembangannya, dapat dikaji lebih lanjut karya
Azyumardi Azra berjudul Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan
Modernisasi, (Jakarta: Logos Waca Ilmu, 2003)
[12] Lihat pula Azyumardi Azra, Esensi- esensi Intelektual Muslim dan
Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), cet. I, hlm. 123-132.
[13] Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung:
Mizan, 2000), cet.I., hlm. 440-441.
[14] Sejak zaman Harun Nasution
sebagai rektor, gagasan pembaharuan Islam mulai dikembangkan. Salah satu
tujuannya adalah agar umat Islam berfikir rasional, kritis, dinamis dan peduli
terhadap masalah- masalah sosial dan kenegaraan. Murid- murid Harun Nasution
tahun 70-80 an kini sudah banyak yang jadi doktor, dan profesor. Mereka itu
antara lain Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, Prof.Dr.Dien Samsudin, Dr.Fachry Ali,
Prof.Dr. Azyumardi Azra, dan Dr. Syaiful Muzani. Mereka sekarang sering tampil
di media televisi sebagai mass media untuk berbicara masalah politik yang
berkembang di tanah air. Para ilmuan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah
mewarnai dinamika wacana perpolitikan
Islam di Indonesia.
[15] Dalam bukunya yang berjudul Pergolakan Politik Islam Dari
Fundamentalisme, Modernisme, hinggo Post Modernisme, Azyumardi Azra, banyak
berbicara mengenai masalah politik dari persepektif agama. Ia misalnya
berbicara tentang Islam dan dan Negara Islam, Arabisme dan Turkisme,
Fundamentalisme Islam, Jihad dan Terorisme, jihad dan revolusi Iran, Radikalisme Politik, citra Barat tentang
Islam, Zionisme, Media Masa Barat dan citra Islam, serta bahasa politik dan
politik bahasa. Demikian pula dalam bukunya Islam
Subtantif, Azyumardi Azra banyak
berbicara tentang peran ulama dan umara, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama,
Peran ICMI, peranan parpol, kiprah para tokoh politik Islam seperti Gus Dur,
Megawati, Habibi, Nurcholis Majid, Amin Rais, MUI, dan Departemen Agama.
[16] Jabatan menjadi Ima Masjidil
Haram amat bergengsi dan dihormati, karena tidak semua orang bisa mencapainya.
Seorang Imam Masjidil Hara selain hafal Al-qur’an berikut penjelasan maksud dan
kandungannya, juga harus menguasai secara luas dan mendalam tentang seluk beluk
hukum Islam.
0 komentar:
Posting Komentar