Hikmah,S.Pd.I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa remaja diibaratkan sebagai masa strom and stres, yang di warnai dengan disequilibrium yaitu ketidakseimbangan
sikap dan emosi, sehingga remaja mudah berubah, bergejolak, dan tidak menentu
(Utaminingsih, 2002: 43). Ketidak seimbangan tersebut biasanya terjadi pada
masa remaja tengah, hal yang paling menonjol pada masa itu adalah perubahan sikap
sosial. Sikap sosial yang dimaksud adalah perilaku yang di tunjukkan remaja
yang berkaitan dengan sosialisasi terhadap individu lain. Contoh perubahan
sikap sosial pada masa remaja adalah ketika menjalin kedekatan dengan lawan
jenisnya. Sikap sosial remaja yang begitu intim dengan lawan jenis akan
dianggap kurang baik oleh masyarakat. Perubahan sikap sosial tersebut terkadang
menyulitkan bagi remaja.
Hurlock (1980: 31) menjelaskan bahwa salah satu
tugas perkembangan masa remaja tersulit adalah yang berhubungan dengan
penyesuaian sosial. Remaja harus membuat banyak penyesuaian baru untuk mencapai
tujuan dari pola sosialisasi dewasa, meningkatkan hubungan teman sebaya,
perubahan dalam perilaku sosial yang baru, nilai- nilai baru dalam seleksi
persahabatan, nilai- nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, serta
nilai- nilai baru dalam seleksi pemimpin. Remaja juga akan lebih cenderung
terpengaruh oleh teman sebayanya dalam menentukan gaya, terutama gaya dalam
berpakaian untuk menentukan jati diri mereka. Pada masa remaja awal tuntutan
untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat belum terlalu kelihatan, tapi saat
memasuki masa remaja tengah akan mulai terlihat.
Masa remaja juga merupakan masa transisi, karena
pada masa remaja banyak terjadi perubahan secara fisik, namun perubahan fisik
kadang- kadang sulit diterima. Hal tersebut disebabkan remaja tidak hanya
menyesuaikan dirinya dengan perubahan yang menyertai pubertas, melainkan remaja
juga harus menerima bentuk dan ukuran tubuhnya yang baru. (Hurlock, 1980: 18).
Apabila remaja mampu elewati masa transisinya dengan baik, maka dikemudian hari
akan menjadi mukmin yang baik. Balasan terhadap mukmin yang baik tercantum
dalam surat Al- Insaan ayat 12-13 yang artinya:
“Dan Allah memberikan balasan kepada mereka atas kesabaran
mereka dengan surga dan pakaian sutera. (Di dalamnya ) mereka duduk
bergeletakan di atas sofa, mereka tiada melihat (merasakan) di dalamnya (terik)
matahari dan tidak pula dingin yang bersengatan (Al- Insaan ayat 12-13)”
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui
bahwa balasan yang diberikan Allah SWT kepada individu yang berhasil menjadi
orang mukmin yang baik sangat membahagiakan. Bagi sesama umat muslim diharapkan
untuk saling mengingatkan, sehingga diharapkan manusia yang lebih dewasa dapat
membantu para remaja untuk dapat melewati masa transisinya dengan baik agar
terhindar dari perbuatan maksiat.
Pada dasarnya manusia tidak dapat dipisahkan dari
lingkungan sosial, karena sejak dahulu manusia sudah menaruh minat yang besar
pada tingkah lakunya dalam bersosialisasi pada masyarakat. Manusia dituntut
untuk berhubungan dengan orang lain, termasuk dengan lawan jenis maupun dengan
orang dewasa, lingkungan keluarga dan sekolah (Hurlock, 1980: 27). Dalam hal berhubungan
dengan orang lain, diperlukan kemampuan bergaul.
Kemampuan bergaul merupakan terjemahan dari ability to make interpersonal relationship yang
dikemukakan oleh De Vito (1997: 44), dalam bergaul tampak adanya unsur
ketrampila interpersonal atau kompetensi sosial, oleh karena itu kemampuan
bergaul juga dapat diterjemahkan sebagai social
skill (Michelson & Kelley dalam Kelley, 1982: 20). Kemampuan bergaul
ini ditandai dengan adanya kemampuan untuk menerima dan mengerti dirinya secara
realistis, memandang sekitarnya dengan akurat, bebas dari konflik dan mampu
mengelola stres secara efektif, dan yang terpenting adalah kemampuan untuk
mengembangkan potensi fisik, intelektual, dan kompetensi sosial (Jahoda dalam
Utaminingsih, 2002: 19).
Masyarakat sangat berharap setiap remaja mampu
mengembangkan pergaulan dengan baik, sebab remaja yang mampu bergaul, dalam
kehidupan sehari- hari akan mudah mendapatkan teman, mampu berkomunikasi dengan
baik, mampu menanyakan atau memberikan informasi selama berkomunikasi tanpa
adanya perasaan tegang ataupun perasaan tidak enak (Helmi & Ramdhani, 1992:
33). Kemampuan ini akan menjadi bekal hidup remaja. Namun, berdasarkan
pengamatan dalam kehidupan sihari- hari, kenyataannya banyak remaja yang
mengalami kesulitan dalam bergaul. Kurang lebih satu dari lima remaja di
Indonesia mengalami kesulitan dalam bergaul (Kartikasari, 1995: 48). Remaja di
Indonesia masih banyak yang merasa minder untuk berinteraksi dengan individu
lain sehingga kemampua bergaulnya menjadi kurang. Banyak juga remaja terutama
siswa- siswa SMA di kota- kota besar Indonesia memiliki kemampuan bergaul yang
buruk, ditunjukkan dengan keterlibatan remaja pada narkoba. Hanya karena takut
“dilecehkan” teman- teman dan dianggap kurang “gaul”, remaja terkadang terlibat
dengan narkoba (Kedaulatan Rakyat, 3 Januari 2008).
Kesulitan bergaul adalah ketidakmampuan atau
kegagalan remaja dalam membina hubungan sosial. Remaja yang mengalami kesulitan
bergaul dapat pasif atau agrasif (Le Croy, dalam Kartono 1996: 29). Pada remaja
yang pasif manifestasi kesulitan bergaul ini dalam bentuk ketidak beranian
memulai suatu percakapan, kesulitan untuk berkata tegas terhadap diri sendiri
atau orang lain, dan pada umumnya mereka tidak mempunyai teman akrab (Buss
dalam Calhoun & Accocella, 1995: 10). Pada remaja yang agresif, kesulitan
bergaul ini termanifestasi dalam usaha untuk menentang perasaan malu dengan
cara menguasai lingkungannya. Bentuk agresif dari ketidakmampuan remaja melakukan penyesuaian
baik dalam dirinya maupun dengan lingkungan sosialnya antara lai penggunaan
NAPZA, perkelahian antar pelajar, dan pergaulan bebas (Maharani & Andayani,
2003: 28).
Dariyo (2004: 30) mengungkapkan bahwa dukungan
sosial dan konsep diri merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan bergaul.
Dukungan sosial merupakan penerimaan lingkungan seperti keluarga, teman sebaya,
atau individu lain terhadap diri seseorang. Individu yang hidup dalam keluarga
yang hangat, penuh kasih sayang, menjunjung nilai- nilai kebenaran diyakini
akan membantu individu dalam ketrampilan mengungkapkan keinginan kepada orang
lain sehingga akan mempengaruhi kemampuan bergaulnya.
Lazardus dan Wolpe (dalam Ramdani, 1996: 37),
mengemukakan bahwa remaja yang mengalami kesulitan bergaul, dapat disebabkan
oleh adanya kecemasan yang menghambat remaja dalam melakukan sosialisasi. Kecemasan
yang dimiliki remaja dalam pergaulan adalah kecemasan ketika memulai
pembicaraan, terlibat dalam pembicaraan, atau kecemasan dalam melakukan
aktivitas- aktivitas dengan orang lain. Ahli lain mengemukakan bahwa remaja
yang mengalami kesulitan bergaul karena adanya kecemasan yang timbul akibat
dari hubungan sosial yang dlakukan sebelumnya tidak kuat. Hubungan sosial yang
gagal dilakukan akan menimbulkan perasaan cemas, sehingga ada pengalaman yang
tidak menyenangkan dalam melakukan hubungan sosial (Ramdhani, 1966: 20).
Ellis dan Harper (dalam Ramdhani, 1996: 36),
mengatakan bahwa remaja yang mengalami kesulitan bergaul dikarenakan adanya
konsep diri negatif berupa kesalahan kognitif yang bersifat subyektif, yaitu
penilaian yang keliru mengenai dirinya.
Menurut Rakhmad (2003: 26), kemampuan bergaul
berhbungan dengan dukungan sosial dan konsep diri. Dukungan sosial sangat
penting dalam berbagai aspek kehidupan individu, karena individu adalah makhluk
sosial yang selalu berhubungan satu sama lain. Kurang atau tidak tersedianya
dukungan sosial akan menjadikan remaja merasa tidak berharga dan terisolasi
(Pearson, 1990: 30). Keadaan ini memungkinkan terjadinya berbagai masalah dalam
kehidupan remaja. Sebaliknya, tersedianya dukungan sosial akan memberikan
pengalaman pada remaja bahwa dirinya dicintai, dihargai, dan diperhatikan
(Pearson, 1990: 21). Sedankan Frankel dan Lewil (dalam Pudjijogyanto, 2000:
17), menyatakan bahwa bagaimana remaja menerima dukungan sosial lebih merupakan
suatu pengalaman pribadinya yang melibatkan penghayatan pribadi terhadap
hubungan sosialnya dengan orang lain. Dengan demikian fungsi dukungan sosial
dipengaruhi oleh agaimana persepsi remaja terhada dukungan yang diterima dari
lingkungan sosialnya.
Dalam penelitian Saranson dkk (Karono, 1996: 38),
menunjukkan hasil bahwa remaja yang mendapatkan dukungan sosial yang tinggi
akan mengalami hal- hal positif dalam hidupnya, mempunyai self esteem yang tinggi dan self
concept yang lebih baik. Sedangkan remaja yang dukungan sosialnya rendah
akan cenderung mengalami kesulitan dalam menghadapi masalah dalam pergaulannya.
Sedangkan penelitian lain juga mendukung penelitian
Saranson dkk yakni, penelitian yang dilakukan oleh Maharani dan Andayani (2003:
28), menunjukkan hasil bahwa ada hubungan yang positif antara dukungan sosial
dengan kemampuan bergaul pada remaja. Semaki tinggi dukungan sosial yang
diperoleh remaja makin tnggi pula kemampuan bergaulnya, begitu juga sebaliknya.
Dapat dipahami bahwa konsep diri merupakan salah
satu variabel lain yang berhubungan dengan kemampuan bergaul. Menurut Dariyo
(2004: 36), konsep diri terbentuk atas dua komponen kognitif dan komponen
afektif. Komponen kognitif merupakan pengetahuan remaja tentang dirinya, jadi
komponen kognitif merupakan penjelasan dari “siapa saya” yang akan memberi
gambaran tentang diri saya, gambaran tersebut akan membentuk citra diri.
Sedangkan komponen afektif merupakan peilian terhadap diri. Penilaian tersebut
akan membentuk penerimaan terhadap diri, serta harga diri remaja. Namun kedua
komponen tersebut tidak akan sama dirasakan oleh setiap remaja, karena
pemilikan konsep diri tidak sama antara satu dengan yang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Lossner (dalam Partosuwido,
1997: 39), menunjukan hasil bahwa terdapat hubungan yang positif antara konsep
diri dengan kemampuan bergaul remaja. Artinya semakin positif konsep diri maka
akan semakin tinggi kemampuan bergaul remaja. Penelitian tersebut juga
menjelaskan bahwa pada umumnya remaja memiliki konsep diri yang rendah.
Berdasarkan uraian di atas, penulis berasumsi bahwa
ada keterkaitan antara dukungan sosial dan konsep diri dengan kemampuan
bergaul, maka penulis ingin meneliti “Pengaruh Konsep Diri dan Dukungan Sosial
terhadap Kemampuan Bergaul Siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana
konsep diri siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
2. Bagaimana
dukungan sosial siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
3. Bagaimana
kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
4. Seberapa
besar pengaruh konsep diri terhadap kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1
Wadaslintang Wonosobo?
5. Seberapa
besar pengaruh dukungan sosial terhadap kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1
Wadaslintang Wonosobo?
6. Seberapa
besar pengaruh konsep diri dan dukungan sosial terhadap kemampuan bergaul siswa
di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
C. Tujuan
dan Kegunaan
Tujuan
dari penelitian in adalah sebagai berikut:
1. Untuk
menggambarkan bagaimana konsep diri siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang
Wonosobo?
2. Untuk
menggambarkan bagaimana dukungan sosial siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang
Wonosobo?
3. Untuk
menggambarkan bagaimana kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang
Wonosobo?
4. Untuk
membuktikan seberapa besar pengaruh konsep diri terhadap kemampuan bergaul
siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
5. Untuk
membuktikan seberapa besar pengaruh dukungan sosial terhadap kemampuan bergaul
siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
6. Untuk
membuktikan seberapa besar pengaruh konsep diri dan dukungan sosial terhadap
kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
Berdasarkan
dari hasil teori, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau
manfaat sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Penelitian
ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan kepada teori- teori psikologi
khususnya psikologi pendidikan Islam, psikologi perkembangan dan psikologi
sosial.
2. Secara
Praksis
a. Bagi
pihak subyek (siswa SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo)
Memberikan
informasi pada remaja pentingnya mengembangkan konsep diri untuk meningkatkan
kemampuan bergaul.
b. Bagi
pihak orang tua subyek
Diharapkan
kepada orang tua untuk selalu memberikan dukungan sosial, demi membangun konsep
diri remaja sehingga remaja mampu untuk bergaul.
c. Bagi
para pembaca dan pecinta psikologi akan bermanfaat bagi pemahaman kita.
D. Landasan Teori
1. Kemampuan
Bergaul
a. Pengertian
Kemampuan Bergaul
Bergaul dilakukan seseorang dengan tujuan untuk
menjalin interaksi dengan orang lain (De Vito, 1997: 67). De Vito (1977: 17),
menambahkan bahwa dalam bergaul hubungannya
dengan sifat interpersonal. Oleh karena itu dalam pola bergaul yang
demikian terkandung proses komunikasi, atraksi, kerja sama, konflik, saling
percaya, persahabatan, bahkan mungkin rasa cinta. Pendapat tersebut tidak jauh
berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Kelly (1982: 33), yaitu bahwa
dalam bergaul nampak adanya unsur ketrampilan sosial yang dimiliki secara
interpersonal.
Bergaul yang Islami menurut Tauchid (2007: 45)
adalah melakukan interaksi terhadap individu lain dengan tidak melanggar atura
agama Islam yang tercantum dalam Al- Qur’an dan Hadits. Pergaulan yang
dilakukan harus saling membawa manfaat yang baik bagi kedua belah pihak. Antara
laki- laki dan perempuan dalam pergaulan Islam dapat saling berinteraksi, namun
keduanya tidak dapat melakukan kedekatan yang dapat membawa kepada meningkatnya
sahwat atau perzinaan. Artinya, ada pembatasan pergaulan antara laki- laki dan
perempuan dalam Islam.
Ellis dan Harper (Gunarsa, 1991: 50) menjelaskan
bahwa kemampuan bergaul merupakan kesanggupan individu untuk menjalin hubungan
sosial dengan individu lain. Kemampuan bergaul selayaknya ditingkatkan karena
dapat membantu individu dalam menjalin interaksi dengan individu lain.
Kemampuan bergaul pada masa anak- anak umumnya belum begitu baik karena anak
belum mampu memahami perasaan orang lain dengan baik. Contohnya anak saat
bermain bersama dengan teman- temannya dapat secara tiba- tiba merebut mainan
temannya yang pada akhirnya membuat temannya menangis. Anak terkadang belum
mampu memahami cara bergaul yang benar.
Dimasa remaja, individu tidak dapat lagi berikap
seperti anak- anak. Remaja membutuhkan kemampuan bergaul yang lebih baik
dibandingkan dengan masa kanak- kanak. Hal tersebut dikarenakan pada masa
remaja, individu akan mengurangi ketergantungannya terhadap keluarga dan
beralih tertarik pada teman sebaya.
Secara psikologis remaja adalah usia dimana individu
berinteraksi dengan masyarakat dewasa, individu memiliki hak yang sama dengan
hak orang dewasa, individu mengalami perubahan intelektual yang menonjol. Calon
(dalam Monks 1995: 63), menyatakan bahwa remaja sebagai masa transisi atau
peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa tetapi tidak lagi
memperolah status kanak- kanak. Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-
anak kemasa dewasa yang bukan hanya dalam arti psikologis tetapi termasuk fisik
dan sosialnya (Hurlock, 1980: 17). Pada masa remaja perubahan fisik inilah yang
merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan psikis
merupakan akibat adanya perubahan fisik tersebut (Sarwono dalam Pudjianto,
2000: 36).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan
bergaul remaja merupakan suatu hasil interpretasi yang menimbulkan pendapat
tentang keberhasilan individu yang masuk kemasa transisi atau masa peralihan
dari masa kanak- kanak menuju dewasa, dalam berinteraksi secara sehat dan
harmonis terhadap relitas sosial untuk memenuhi kebutuhan menjalin hubungan
sosial dengan orang lain.
b. Aspek-
aspek Persepsi Kemampuan Bergaul
Menurut
Ellis dan Harper (Gunarsa, 1991: 46), aspek kemampuan bergaul ada tiga yaitu:
1) Komunikasi
verbal berupa keinginan untuk melakukan komunikasi interpersonal.
2) Komunikasi
nonverbal berupa keinginan untuk melakukan pertemuan dengan orang lain.
3) Gambaran
mental adanya gambaran atau pikiran yang positif mengenai penilaian orang lain
terhdap dirinya
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa aspek kemampuan bergaul terdiri dari
komunikasi verbal, komunikasi nonverbal, dan gambaran mental.
c. Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Bergaul
Kecerdasan emosi menurut Goleman (2006: 47) dapat
mempengaruhi kemampuan bergaul individu. Lebih lanjut Goleman menjelaskan bahwa
individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi akan mampu mengelola perasaan,
serta memiliki empati pada individu lain. Empati akan membuat remaja dapat
merasakan perasaan orang lain dan akan membuatnya bersikap hati- hati dalam
bergaul agar tidak menyakiti perasaan orang lain.
Dagun (1990: 46), menjelaskan bahwa kemampuan
bergaul dapat dipengaruhi leh dukungan sosial. Remaja biasanya kurang memiliki
kepercayaan diri karena sebagaimana yang dijelaskan oleh Hurlock (1980: 72)
remaja masih banyak bergantung pada individu lain. Hal itu membuat dukungan
sosila akan membuat remaja percaya pada kemampuannya dan merasa individu lain
mau menerima kehadirannya sehingga kemampuan bergaul remaja akan semakin baik,
remaja akan “berani” dalam melakukan interaksi dengan individu lain.
Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan bergaul
adalah konsep diri. Coppersmith (dalam Partosuwido, 1997: 60) menyatakan bahwa
adanya konsep diri yang positif pada remaja akan membuat remaja merasa setara
dengan individu lain sehingga tidak mengalami ketakutan untuk bergaul. Remaja
yang memandang dirinya secara positif akan memahami kelebihan serta
kekurangannya, dan menganggap individu lain juga memiliki kekurangan dan
kelebihan. Pemahaman tersebut membuat remaja tidak merasa rendah diri bergaul
dengan remaja lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan emosi, dukungan sosial, serta konsep diri merupakan faktor- faktor
yang mempengaruhi kemampuan bergaul remaja. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan faktor dukungan sosial dan faktor konsep diri sebagai faktor yang
mempengaruhi kemampuan bergaul remaja.
2. Dukungan
Sosial
a. Pengertian
Dukungan Sosial
Dukungan sosial atau sosial support timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat keadaan
atau peristiwa yang dipandan akan menimbulkan masalah, dan bantuan tersebut
dirasakan dapat menaikkan perasaan positif serta mengangkat harga diri. Keadaan
atau kondisi psikologis ini dapat mempengaruhi respon- respon dan perilaku
individu sehingga akan berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara umum
(Cohen & Wills dalam Wills, 1985: 42). Hobfoll (dalam Utaminingsih, 2002:
38), mendefinisikan dukungan sosial sebagai interaksi sosial atau hubungan yang
memberikan sesuatu bantuan nyata kepada individu- individu sebagai kepercayaan
sistem sosial terhadap tersedianya kasih sayang, perhatian atau rasa kelekatan
terhadap kelompok sosial yang dihadapi.
Tauchid (2007: 38) menjelaskan bahwa dukungan sosial
dalam Islam merupakan bantuan yang diberikan individu kepada individu lain.
Setiap orang memerlukan dukungan sosial dan harus saling memberikan dukungan
sosial. Hal itu dikarenakan manusia secara kodratnya adalah makhluk sosial yang
saling membutuhkan. Tanpa adanya dukungan sosial maka akan sulit bagi individu
untuk dapat menjalani kehidupannya dengan baik.
Cohen dan Syme (1985: 29) menjelaskan bahwa dukungan
sosial adalah hubungan antar individu yang didalamnya terdapat saling memberi
bantuan, kepercayaan, dan saling menghargai. Dukungan sosial akan membuat
individu dapat memahami dirinya dan menyelesaikan masalah- masalah yang
dihadapi karena bantuan atau keberadaan individu lain.
Walgito (2002: 17), menyatakan bahwa dukungan sosial
merupakan hubungan antara individu dengan lingkungannya terutama lingkungan
sosial yang bersifat timbal balik, lingkungan mempengaruhi individu dan
individu mempengaruhi perkembangan lingkungan. Selain mengadakan kontak- kontak
sosial manusia juga membutuhkan dukungan dari orang lain dalam mengantisipasi
dan menghadapi suatu masalah.
Dengan demikian dari beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa manusia tidak akan dapat hidup tanpa manusia lain, sebab
sebagai makhluk sosial tentu tidak lepas dari lingkungan sosial yang selalu
membutuhkan dorongan dari lingkungan baik berupa moril maupun materi untuk
mengantisipasi dan menghadapi suatu masalah. Dukungan sosial merupakan
interaksi sosial atau hubungan yang memberikan suatu keuntungan timbal balik.
Di dalam dukungan sosial, individu dapat memberi bantuan nyata kepada individu
lain, bantuan ersebut dapat berupa sebagai kepercayaan sistem sosial terhadap
tersedianya kasih sayang, perhatian atau rasa kelekatan terhadap kelompok
sosial yang dihargai.
b. Aspek-
aspek Dukungan Sosial
Pada
dasarnya menurut Cohen & Syme (1985: 56), terdapat empat bentuk dukungan
sosial yaitu:
1) Dukungan
Emosional
Dukungan yang diterima individu dari orang- orang di
sekitarnya dalam bentuk kasih sayang, penghargaan, perasaan didengarkan,
perhatian dan kepercayaan yang di peroleh individu dalam memecahkan masalah
yang dihadapinya, baik masalah pribadi atau masalah yang berkaitan dengan
studi.
2) Dukungan
Penghargaan
Dukungan yang diterima individu dalam bentuk
penilaian, penguatan, umpan balik dan perbandingan sosial dalam upaya mendukung
perilakunya dalam kehidupan sosial.
3) Dukungan
Informasi
Dukungan yang diterima individu dalam bentuk
informasi, nasehat, saran yang berguna untuk mempermudah seseorang dalam
menjalani hidupnya.
4) Dukungan
Instrumental
Sarana yang tersedia untuk menolong individu melalui
waktu, uang, alat, bantuan, pekerjaan dan modifikasi lingkungan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat
disimpulkan bahwa aspek- aspek dukungan sosial terdiri dari dukungan emosional,
dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan penghargaan. Dukungan
sosial adalah interaksi sosia atau hubungan yang memberikan suatu bantuan nyata
kepada individu- individu sebagai kepercayaan sistem sosial terhadap
tersedianya kasih sayang, perhatian atau rasa kelekatan terhadap kelompok
sosial yang dihargai dan meliputi spek- aspek seperti dukungan emosional,
dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan penghargaan.
3. Konsep
Diri
a. Pengertian
Konsep Diri
Apabila di dalam fikiran, seseorang memandang
negatif tentang dirinya maka ada unsur penilaiaan diri yang negatif. Penilaian
diri tidak dapat lepas dari konsep diri. Konsep diri merupakan hal yang sangat vital dipandang sebagai inti atau
faktor primer kepribadian. Konsep diri dianggap sebagai kunci yang berperan
mengatur dan mengarahkan perilaku manusia (Shiffer 1992: 38).
Secara umum konsep diri diartikan sebagai konsep
seseorang mengenai dirinya sendiri (Shaveson & Bolus dalam Rakhmad, 2003:
59). Selanjutnya Rakhmad (2003: 30), mengatakan bahwa konsep diri remaja bukan
hanya sekedar gambaran diskriptif saja melainkan juga penilaian seseorang
terhadap dirinya. Jadi meliputi apa yang ada dipikiran dan apa yang dirasakan
tentang dirinya sendiri. Epstein (dalam Benzonsky, 1981: 72), menyatakan bahwa
konsep diri adalah sebagai kesan individu terhadap dirinya secara keseluruhan,
mencakup pendapatnya tentang gambaran dirinya dimata orang lain dan pendapatnya
tentang hal- hal yang dicaainya. Konsep diri yaitu merupakan pengertian dan
harapan seseorang mengenai bagaimana diri yang dicita- citakan dan bagaimana
dirinya dalam realita yang sesungguhnya (Hurlock, 1980: 69).
Islam mengharapkan umatnya memiliki konsep diri yang
positif dalam arti individu diharapkan tidak dapat memandang rendah dirinya.
Islam bahkan secara tegas menjelaskan bahwa manusia adalah khalifah dimuka bumi
ini sehingga sebaiknya mampu menjadi seorang pemimpin yang baik. Pandangan
Islam yang menganggap manusia khalifah merupakan peghargaan terhadap keberadaan
manusia sehingga secara tidak langsung Islam mengharapkan umatnya juga mampu
menghargai dirinya. Adanya konsep diri
yang positif akan membuat manusia menghargai dirinya sendiri (Tauchid,
2007: 53).
Maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan
faktor primer kepribadian karena konsep diri diaggap sebagai kunci yang
berperan mengatur dan mengarahkan perilaku manusia. Konsep diri merupakan
pandangan, penilaian, pengertian, harapan, dan perasaan seseorang terhadap
dirinya maupun persepsi mengenai diri sendiri baik yang bersifat fisik, sosial
maupun psikologis melalui pengalaman individu dengan orang lain.
b. Aspek-
aspek Konsep Diri
Menurut
Pudjiyogyanti (1985: 3) memberikan penjelasan bahwa aspek konsep diri terdiri
dari dua aspek yaitu:
a. Aspek
kognitif
Pengetahuan
individu mengenai dirinya, yang di sebut sebagai gambaran diri yang akan
membentuk citra diri (self image).
b. Aspek
afektif
Merupakan
penilaian individu tentang dirinya, penilaian tersebut akan membentuk
penerimaan terhadap diri (self
acceptance), serta harga diri (self esteem) individu.
Menurut Rakhmat (2003: 126) aspek
konsep diri meliputi hal- hal berikut:
a. Ideal
self yaitu pengertian mengenai seseorang
mengenai bagaimana seharusnya “aku” atau keinginan seseorang terhadap dirinya.
b. Social
self yaitu pengertian seseorang yang berhubungan dengan pikiran mengenai
dirinya dalam berhubungan dengan orang lain.
c. Real
self yaitu pengertian seseorang tentang bagaimana aku yang sebenarnya.
Menurut
pandangan Epstein (dalam Berzonsky, 1981: 49), terdiri dari empat aspek yaitu:
1) Aspek
fisik, meliputi penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimilikinya seperti
tubuh, pakaian, benda miliknya dan sebagainya.
2) Aspek
sosial, meliputi bagaimana perasaan sosial yang dimainkan oleh individu dan
sejauh mana penilaian individu terhadap kinerjanya.
3) Aspek
moral, meliputi nilai- nilai dan prinsip- prinsip yang memberikan arti dan arah
bagi kehidupan seseorang.
4) Aspek
psikis, meliputi perasaan, pikiran, perasaan, dan sikap- sikap individu
terhadap dirinya.
Berdasarkan semua uraian diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa konsep diri adalah pandangan, penilaian, pengertian, harapan,
dan perasaan sesorang terhadap dirinya sendiri baik yang bersifat fisik, sosial
maupun psikologis melalui pengalaman individu dengan orang lain, yang meliputi
aspek fisik, aspek psikis, aspek sosial, dan aspek moral.
E. Tinjauan Pustaka
Beberapa
penelitian mengenai konsep diri, telah diteliti oleh peneliti sebelumnya.
Berbagai faktor yang berhubungan dengan konsep diri telah digunakan sebagai
bahan penelitian, seperti:
Tesis Rian Maharani (Nim 201210100018) Psikologi
Pendidikan Islam, MSI, UMY 2010 dengan judul “Hubungan antara Konsep Diri dengan Keterampilan Sosial dan Kemandirian
Anak di Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiyah Yogyakarta”. Variabel dalam
penelitian ini adalah konsep diri dengan keterampilan sosial dan kemandirian.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penghuni panti asuhan yatim putri
Aisyiyah Yogyakarta yang berjumlah 78 anak. Subyek penelitian ini diambil
seluruh populasi yaitu 78 orang. Teknik pengumpulan data menggunakan angket.
Alat yang digunakan untuk menganalisis adalah korelasi parsial. Dari hasil
penelitannya dapat disimpulkan bahwa: 1. Konsep diri anak di Panti Asuhan Yatim
Putri Aisyiyah Yogyakarta terbanyak kategori sedang (44,9%), kemudian diikuti
tinggi (35,9%) dan terakhir rendah (19,2%), 2. Ketrampilan sosial anak di Panti
Asuhan Yatim Putri Aisyiyah Yogyakarta terbanyak kategori sedang (46,2%),
kemudian diikuti tinggi (37,2%) dan terakhir rendah (16,7%), 3. Kemandirian
anak di Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiyah Yogyakarta terbanyak kategori sedang
(46,2%), kemudian diikuti tinggi (35,9%) dan terakhir rendah (17,2%), 4.
Terdapat hubungan positif dan signifikan antara konsep diri dengan Keterampilan
Sosial pada Anak di Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiyah Yogyakarta, dan 5.
Terdapat hubungan positif dan signifikan antara konsep diri dengan Kemandirian
pada Anak di Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiyah Yogyakarta
Jurnal penelitian Rensi dan Luciana Sugiarti Fakultas
Psikologi Universitas Katholik Soegijapranata
Jl.
Pawiyatan Luhur IV/1 Bendan Dhuwur, Semarang. Jurnal Psikologi
Volume 3, No. 2, Juni 2010, yang berjudul “Dukungan
Sosial, Konsep Diri, dan Prestasi Belajar Siswa SMP Kristen YSKI Semarang” Penelitian ini dilakukan karena
melihat adanya banyak faktor yang dapat berperan pada naik turunnya prestasi
belajar seorang siswa. Hal ini dapat berupa sesuatu yang berasal dari dalam
maupun dari luar diri siswa tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengukur pengaruh dukungan sosial dan konsep diri terhadap prestasi belajar
siswa. Subjek penelitian adalah siswa-siswi SMP Kristen YSKI Semarang yang
sedang duduk di kelas VII. Jumlah subjek 179 orang siswa, dan dari antaranya
diambil sampel sebanyak 60 orang siswa. Penelitian ini menggunakan uji
statistik simultan (uji statistik F) untuk menguji hipotesis mayor penelitian
dan uji statstik t untuk menguji hipotesis minornya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dukungan sosial berpengaruh terhadap prestasi belajar. Juga
ditemukan adanya pengaruh positif dari konsep diri terhadap prestasi belajar
siswa.
Jurnal penelitian Kharisma Nail Mazaya dan Ratna
Supradewi, Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung Semarang Proyeksi,
Vol. 6 (2) 2011, 103-112 yang berjudul “Konsep
Diri dan Kebermaknaan Hidup pada Remaja di Panti Asuhan” Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui secara empiris hubungan antara konsep diri dengan
kebermaknaan hidup pada remaja putri di Panti Asuhan Sunu Ngesti Tomo Jepara.
Hipotesis yang diajukan yaitu ada hubungan positif antara konsep diri dengan
kebermaknaan hidup pada remaja di Panti Asuhan. Populasi dalam penelitian ini
adalah semua remaja penghuni panti asuhan di bawah UPT Dinas Sosial Propinsi
Jawa Tengah. Sampel dalam penelitian ini adalah remaja penghuni Panti Asuhan
Ngesti Tomo Jepara, berusia antara 15 sampai 21 tahun. Metode pengambilan
sampel menggunakan purpossive sampling dengan jumlah sampel 51 orang.
Kedua variabel dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala
kebermaknaan hidup dan konsep diri. Teknik analisis data yang digunakan yaitu
teknik korelasi product moment. Hasil analisis data diperoleh nilai
korelasi rxy = 0,595 dengan p= 0,000 (p < 0,01). Hal ini menunjukkan ada
hubungan positif yang sangat signifikan antara konsep diri dengan kebermaknaan
hidup pada remaja di Panti Asuhan Sunu Ngesti Utomo Jepara. Artinya semakin
tinggi konsep diri yang dimiliki remaja maka, semakin tinggi pula kebermaknaan
hidupnya. Sebaliknya semakin rendah konsep diri yang dimilikinya, maka semakin
rendah pula kebermaknaan hidupnya. Hasil dari uji korelasi tersebut menunjukkan
bahwa hipotesis diterima.
Jurnal penelitian Resti Asweni dan Khairani Jurusan
Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang,
Volume 2 Nomor 1 Januari 2013. Yang berjudul “korelasi antara Konsep Diri Sosial dengan Hubungan Sosial (Studi
Korelasi terhadap Siswa SMP Negeri 2 Padang Panjang)”. Kemampuan
orang-orang muda dalam hubungan sosial
dapat dipengaruhi oleh konsep diri kepemilikan. Fakta
bahwa ada menunjukkan siswa masih ditemui yang
memiliki hubungan sosial yang buruk. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana korelasi antara
sosial konsep diri siswa di sekolah hubungan
sosial. Ketik berbentuk penelitian deskriptif korelasional. Populasi penelitian berjumlah 444 siswa, menggunakan
teknik proporsional random sampling diperoleh sampel dari
82 siswa. Hasil
penelitian menunjukkan korelasi yang signifikan antara
sosial konsep diri hubungan sosial.
Jurnal penelitian Latifah
Nur Ahyani Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus, Volume 1
No.1, Juni 2012, yang berjudil “Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan
Penyesuaian Diri Remaja Di Panti Asuhan” Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui
secara empiris hubungan antara dukungan
sosial dengan penyesuaian pada remaja di panti asuhan. Subyek penelitian ini adalah
remaja antara usia 13 sampai 18
tahun di Panti Asuhan Darul Hadlonah Kudus.
Metode pengambilan sampel menggunakan Non Kuota
Random Sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala
dukungan sosial disusun berdasarkan
aspek-aspek yang diangkat oleh Sarafino di Oktavia,
L (2002, hal.17-18) yang meliputi dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental, dan dukungan
informasi. Sedangkan skala penyesuaian
diri siap pada
aspek yang diangkat oleh Pramadi
(1996, h.240) yang
mencakup aspek Pengetahuan
Diri dan Insight Diri,
aspek Objectifity Penerimaan diri dan Diri,
aspek Pengembangan Diri dan Pengendalian Diri, aspek
Kepuasan. Berdasarkan analisis data penelitian dengan Product Moment oleh SPSS
15.0 for Windows diperoleh dari
kedua koefisien korelasi rxy
sebesar 0,339 dengan
p 0,011 (p
<0,05) ini berarti hipotesis diterima dan menunjukkan hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian diri remaja di panti asuhan.
Dari penelitian diatas berbeda dengan penelitian
yang akan dilakukan oleh penulis. Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan
pada pengaruh konsep diri dan dukungan sosial terhadap kemampuan bergaul. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini akan menjelaskan tentang ” Pengaruh Konsep Diri dan Dukungan Sosial tehadap Kemampuan Bergaul
Siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo”.
F.
Hipotesis
H1 : Ada
pengaruh antara konsep diri terhadap kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1
Wadaslintang Wonosobo
H2: Ada pengaruh antara dukungan sosial terhadap kemampuan
bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo
H3: Ada pengaruh antara konsep diri dan dukungan
sosial terhadap kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo
G. Metode Penelitian
1. Jenis
Penelitiaan
Jenis
penelitian ini adalah penelitian kuantitatif karena data penelitisn berupa
angka- angka dan analisis menggunakan statistik (Sugiono, 2009: 7).
2. Definisi
Operasional Variabel Penelitian
a. Variabel
Penelitian
1) Variabel
Tergantung (Dependent Variabel)
Kemampuan bergaul (Y)
2) Variabel
Bebas (Independent Variabel)
Konsep
diri (X1)
Dukungan
sosial (X2)
3. Subjek
Penelitian
a. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri
atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono,2009:55). Dalam penelitian ini yang dimaksud
populasi adalah keseluruhan siswa yang ada di SMA Negeri 1 Wadaslintang
Wonosobo.
Kelas X jumlah 240 siswa
Kelas
XI jumlah 240 siswa
Kelas
XII jumlah 240 siswa
Jadi jumlah siswa SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo
tahun ajaran 2013/2014 adalah 720 siswa.
b. Sampel
Jika peneliti hanya akan meneliti sebagian dari
populasi, maka penelitian tersebut disebut penelitian sampel. Sampel adalah
sebagian atau wakil populasi yang diteliti.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Sampel
berstrata atau Stratified Sampel
yaitu sampel yang diambil berdasarkan kelompok, yang mana, perolehan sampel
diambil 20% dari populasi yang ada (Suharsimi Arikunto, 2010: 185).
Populasi dan Sampel
Kelas
|
Populasi (jumlah siswa)
|
Sampel 20%
|
X
|
180
|
36
|
XI
|
180
|
36
|
XII
|
180
|
36
|
Jumlah
|
540
|
108
|
Jadi jumlah
keseluruhan sampel adalah 108 siswa.
4. Teknik
Pengumpulan Data
a. Metode
Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data menggunakan testie, alat ukur menggunakan skala, agket, observasi
dan wawancara.
1) Skala
Skala digunakan sebagai alat ukur primer karena
atribut yang hendak di ukur merupakan atribut psikologis yang bersifat laten
dan dapat diungkap melalui indikator perilaku yang dituangkan dalam bentuk
item. Selain itu stimulus berupa pengetahuan yang tidak langsung mengungkap
atribut rendah melainkan mengungkap indikator perilaku dana atribut yang
bersangkutan. Dalam penelitian ini menggunkan tiga skala yaitu, skala dukungan
sosial, skala konsep diri dan skala kemampuan bergaul.
Skala dikembangkan dengan model Summated Rating Scale, dukungan sosial, konsep diri dan kemampuan
bergaul menggunakan empat elternatif jawaban yang sangat sesuai (SS), Sesuai
(S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS) dalam penelitian ini
terbagi menjadi favorable dan unfaforable dengan skoring sebagai berikut:
Tabel.1. Cara Skoring
Alternatif
|
Soal
Item
|
|
Faforable
|
Unvaforable
|
|
SS
|
4
|
4
|
S
|
3
|
3
|
TS
|
2
|
2
|
STS
|
1
|
1
|
a. Skala
dukungan sosial
Skala
dukungan sosial disusun sendiri oleh peneliti, berdasarkan teori Cohen&Syme
(1985: 56) yang terdiri dari empat aspek yaitu, dukungan emosional, dukungan
penghargaan, dukungan informasi, dan dukungan instrumental.
Tabel. 2. Skala Dukungan Sosial sebelum uji coba.
No
|
Aspek
|
Bobot
%
|
1
|
Dukungan Emosional
|
25
%
|
2
|
Dukungan Penghargaan
|
25
%
|
3
|
Dukungan Informasi
|
25
%
|
4
|
Dukungan Instrumental
|
25
%
|
Total
|
100
%
|
Skala dukungan sosial terlebih
dahulu di uji cobakan sebelum di gunakan untuk mengambil data yang
sesungguhnya.
Tabel. 3. Kisi- kisi Dukungan Sosial
Aspek
|
Favorabel
|
Unfavorabel
|
Jumlah
|
Dukungan Emosional
|
1,9,17,25,33,41,49
|
5,13,21,29,37,45
|
12
|
Dukungan Penghargaan
|
2,10,18,26,34,42,50
|
6,14,22,30,38,46
|
13
|
Dukungan Informasi
|
3,11,19,27,35,43
|
7,15,23,31,39,47
|
13
|
Dukungan Instrumental
|
4,12,20,28,36,44
|
8,16,24,32,40,48
|
12
|
Jumlah
|
25
|
25
|
50
|
Keseluruhan
item dalam skala dukungan sosial berjumlah 50 butir, terdiri dari 25 item
favorabel dan 25 unfavorabel.
b. Skala
konsep diri
Skala
konsep diri disusun sendiri oleh peneliti, berdasarkan teori menurut pandangan
Epstein (dalam Benzonsky, 1981: 49) dari empat aspek yaitu, aspek fisik, aspek sosial,
aspek moral, dan aspek psikis.
Tabel. 4. Skala Konsep Diri
No
|
Aspek
|
Bobot
%
|
1
|
Aspek Fisik
|
25
%
|
2
|
Aspek Sosial
|
25
%
|
3
|
Aspek Moral
|
25
%
|
4
|
Aspek Psikis
|
25
%
|
Total
|
100
%
|
Skala konsep diri terlebih dahulu
di uji cobakan sebelum di gunakan untuk mengambil data yang sesungguhnya.
Tabel. 5. Kisi- kisi Konsep Diri
Aspek
|
Favorabel
|
Unfavorabel
|
Jumlah
|
Aspek fisik
|
1,9,17,25,33,41,49
|
5,13,21,29,37,45
|
12
|
Aspek sosial
|
2,10,18,26,34,42,50
|
6,14,22,30,38,46
|
13
|
Aspek moral
|
3,11,19,27,35,43
|
7,15,23,31,39,47
|
13
|
Aspek psikis
|
4,12,20,28,36,44
|
8,16,24,32,40,48
|
12
|
Jumlah
|
25
|
25
|
50
|
Keseluruhan
item dalam skala konsep diri berjumlah 50 butir, terdiri dari 25 item favorabel
dan 25 unfavorabel.
c. Skala
Kemampuan Bergaul
Skala
kemampuan bergaul disusun sendiri oleh peneliti, berdasarkan teori Ellis&Harper
(Gunarsa, 1991: 46) yang terdiri dari tiga aspek yaitu, kemampuan verbal,
kemampuan nonverbal, dan kemampuan mental.
Tabel. 6. Skala Kemampuan Bergaul
No
|
Aspek
|
Bobot
%
|
1
|
Kemampuan Verbal
|
35
%
|
2
|
Kemampuan Nonverbal
|
35
%
|
3
|
Gambaran Mental
|
30
%
|
Total
|
100
%
|
Skala kemampuan bergaul terlebih
dahulu di uji cobakan sebelum di gunakan untuk mengambil data yang
sesungguhnya.
Tabel. 7. Kisi- kisi Kemampuan Bergaul
Aspek
|
Favorabel
|
Unfavorabel
|
Jumlah
|
Komunikasi verbal
|
1,7,13,19,25,31,37,43,49
|
4,10,16,22,28,34,40,46
|
17
|
Komunikasi nonverbal
|
2,8,14,20,26,32,38,44,50
|
5,11,17,23,29,35,41,47
|
17
|
Komunikasi mental
|
3,9,15,21,27,33,39,45
|
6,12,18,24,30,36,42,48
|
16
|
Jumlah
|
26
|
24
|
50
|
Keseluruhan
item dalam skala kemampuan bergaul berjumlah 50 butir, terdiri dari 26 item
favorabel dan 24 unfavorabel.
2) Metode
Angket
Angket adalah suatu daftar pertanyaan untuk
memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden (orang-orang yang
menjawab) (Kuntjaraningrat, 1983: 89). Dalam penelitian ini angket yang
digunakan adalah angket tertutup, yaitu responden tinggal memilih jawaban yang
tersedia. Bila dilihat dari jawaban yang diberikan, maka menggunakan angket
langsung, sedangkan dilihat dari bentuknya, maka berbentuk chek list (√ ).
Pertimbangan yang mendasari penelitian ini
menggunakan angket, karena angket sebagai pengumpul data memiliki dasar seperti
:
1) Subjek
adalah orang yang paling tau tentang dirinya sendiri.
2) Apa
yang dikemukakan oleh responden kepada penyelidik atau peneliti adalah benar
dan dapat dipercaya.
3) Interpretasi
subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan
yang dimaksud oleh peneliti (Sutrisno Hadi, 1987:175).
Skala yang digunakan dalam angket
ini yaitu dengan menggunakan skala Likert.
3) Metode
Wawancara
Metode ini dipergunakan untuk mendapatkan data
dengan cara Tanya jawab langsung . peneliti melakukan wawancara dengan staf
pengajar SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo.
4) Metode
Observasi
Observasi adalah pengamatan yang meliputi kegiatan
pemuatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan alat indra
(Suharsimi Arikuntoro, 1996:145).
5. Instrumen
Penelitian
Instrumen adalah alat bantu pada waktu
peneliti menggunakan suatu metode pengumpulan data, (Sutrisno Hadi, 1987: 175)
dan alat dalam penelitian ini berupa angket.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah :
a.
Merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan
angket.
b.
Merumuskan
definisi operasional dari setiap variabel yang akan diungkap.
c.
Menentukan
indikator-indikator variabel.
d.
Membuat
kisi-kisi angket dari setiap variabel.
e.
Merumuskan
pertanyaan-pertanyaan atas kisi-kisi yang dibuat.
6. Analisis
Instrumen
a. Uji
Validitas Instrumen
Validitas
adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan atau
kesahihan suatu instrument. Alat ukur
dikatakan valid jika alat ukur itu dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Dalam penelitian ini dilakukan uji validitas
internal, yang nantinya akan tercapai apabila terdapat kesesuaian antara
bagian-bagian instrumen dengan instrumen secara keseluruhan, sehingga
menghasilkan sebuah instrument yang tidak menyimpang dari fungsi instrument.
Pengujjian validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan
analisis butir. Untuk menguji validitas setiap butir maka skor-skor yang ada
pada butir yang dimaksud dikorelasikan dengan skor total dengan menggunakan
teknik Korelasi Product moment dari Pearson.
Dengan diperolehnya indeks validitas setiap butir
dapat diketahui dengan pasti butir-butir manakah yang tidak memanuhi syarat
ditinjau dari segi validitasnya. Jika rxy > r tabel, maka korelasi tersebut
signifikan, yang artinya butir angket tersebut valid dan dapat dipergunakan
untuk pengambilan data (Suharsimi Arikunto, 2002:72).
b. Uji
Reliabilitas Instrumen
Reliabel artinya dapat dipercaya atau dapat
diandalkan, jadi instrument dikatakan reliabel apabila instrumen itu dapat
dipercaya atau dapat diandalkan. Berkaitan dengan kriteria yang digunakan untuk
mengetahui reliabilitas, Suharsimi Arikunto berpendapat bahwa secara garis
besar ada dua jenis reliabilitas yaitu reliabilitas eksternal dan reliabilitas
internal. Dalam penelitian ini akan diuji reliabilitas internal yang diperoleh
dengan cara menganalisis data dari satu kali pengetesan. Karena penelitian ini
menggunakan angket yang memakai skala Likert, maka untuk pengukuran
reliabilitasnya menggunakan rumus Alpha.
Rumus Alpha digunakan untuk mencari
reliabilitas instrument yang skornya bukan 1 dan 0, melainkan instrument yang
skornya merupakan rentangan beberapa nilai (misalnya 1-10 atau 0-100) atau yang
terbentuk skala 1-3, 1-5, dan seterusnya.
Sedangkan
rumus Alpha yang dimaksud adalah:
Keterangan:
= reliabilitas instrumen
= banyaknya butir pertanyaan
= jumlah varians butir
= varians total (Suharsimi Arikunto, 2002:
17).
7. Analisis
Data
a. Analisis
Diskriptif
Statistik diskriptif dalam penelitian ini digunakan
untuk menjawab rumusan masalah 1 sampai 3 atau untuk menggambarkan bagaimana
konsep diri, dukungan sosial dan kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1
Wadaslintang Wonosobo. Cara penyajian data dengan prosentasi yaitu dengan tabel
distribusi frekuensi.
P=F/N
x 100%
P : Hasil prosentase
F : Frekuensi jawaban
N : Jumlah frekuensi/ Banyaknya
individu
100% : Bilangan konstanta
b. Analisis
Statistik
Setelah data terkumpul,
maka langkah berikutnya adalah mengelola, menganalisa, serta mengambil
kesimpulan dari data yang terkumpul. Tujuan analisa data dalam penelitian
adalah untuk menyempitkan membatasi penemuan-penemuan sehingga menjadi data
yang teratur dan tersusun rapi. Dalam pengolahan ini, penulis menggunakan
metode analisis kuantitatif. Metode kuantitatif adalah metode untuk menganalisa
menurut dasar-dasar statistik, seperti yang dikemukakan oleh Anas Sudijono,
yaitu:
“Metode statistik yaitu cara-cara tertentu yang perlu ditempuh dalam
rangka mengumpulkan, menyusun, atau mengatur, menyajikan, menganalisa, dan
memberikan interpretasi terhadap sekumpulan bahan keterangan yang berupa angka,
sedemikian rupa hingga kumpulan bahan keterangan yang berupa angka dapat
berbicara atau memberikan pengertian dan makna tertentu”(Anas Sudijono,2011:
3).
Sesuai dengan judul dan
tujuan penelitian ini, maka persoalannya difokuskan untuk membuktikan pengaruh
konsep diri dan dukungan sosial terhadap kemampuan bergaul siswa di SMA 1 Wadaslintang Wonosobo. Teknik
analisis data menggunakan regresi ganda
karena penelitian ini terdiri dari dua variabel bebas (X1X2) dan satu variabel
terikat (Y). Teknik uji analisis di atas menggunakan program SPSS for windows 16. Adapun kaidah untuk
menentukan status signifikansi hipotesis yaitu: apabila p≤0,05 maka dinyatakan
signifikan.
H. Sistematika Pembahasan
Sistematika
pembahasan dalam tesis ini akan dibuat dalam lima bab sebagai berikut:
Bab I, membahas tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, serta sistematika pembahasan.
Bab II, menjelaskan tentang tinjauan pustaka yang
berkaitan dengan kemampuan bergaul, didalamnya meliputi pengertian kemampuan
bergaul, aspek- aspek persepsi kemampuan bergaul, serta faktor- faktor yang
mempengaruhi bergaul. Dukungan sosial meliputi pengertian dan aspek- aspek
dukungan sosial. Konsep diri meliputi pengertian konsep diri, aspek- aspek
konsep diri. Sub bab berikutnya adalah landasan teori dan diakhiri dengan
hipotesis.
Bab III, berkaitan dengan metodologi penelitian
terdiri dari identifikasi variabel, deinisi operasional, populasi dan metode
pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas, reliabilitas dan metode
analisis data.
Bab
IV, akan diuraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan dari hasil
penelitian ini.
Bab
V, adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan hasil penelitian dan saran dari
peneliti.
Daftar
Pustaka
Benzonsky,
M. D. 1981. Adolescent Depelopment.
New York: Mac Millan Publising Co.
Cohen,
S. & Symee, L. 1985. Sosial Support
and Health. Florida: Academic Press.
Dariyo.A.2004.
Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor:
Ghalia Indonesia.
De Vito. J. A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. (terjemah: Agus Maulana). Jakarta:
Professional Books.
Goleman, S. 2006. Emotional Intelligence. (terjemahan: Hermaya, T). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Gunarsa, S. D. & Gunarsa, Y. S. D. 1991. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Grinder,
R.E. 1978. Adolescence. New York: John
Willey & Sons.
Hadi,
S.1991. Metodologi Research.
Yogyakarta: Andi Offset.
Helmi, A. F, Ramdhani, N. Dan Haryono. 1991. Standarisasi Skala Tingkah Laku Sosial.
Laporan Penelitian. Tidak Diterbitkn. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Hurlock, E. 1980. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang rentang Kehidupan. Alih
bahasa Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Kartono,
K. 1996. Psikologi Umum. Bandung:
Mandar Maju
Kedaulatan
Rakyat, 3 Januari 2008.
Maharani, O.P. dan Andayani, B. 2003. Hubungan
antara Dukungan Sosial Ayah dengan Penyesuaian Sosial pada remaja laki- laki,
Jurnal Psikologi, No. I, 23- 35.
Pudjianto.
2000. Remaja dan Perkembangannya.
Surabaya: Usaha Nasional.
Pudjijogyanti, C. R. 1988. Konsep diri dalam Proses Belajar mengajar. Jakarta: Pusat
Penelitian Universitas Atmajaya.
Rakhmat,
J. 2003. Psikologi Komunikasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ramdhani, N. 1996. Perubahan Perilaku dan Konsep
Diri Remaja yang Sulit Bergaul Setelah Menjalani Pelatihan Ketrampilan Sosial,
Jurnal Psikologi, No. I, 13- 20.
Suharsimi Arikunto, 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Smart, M. S. dan Smart, R. C. 1972. Children Development and Relationship. New
York: Half and Winston.
Taylor,
S.E. 1995. Health Psychology.
Singapore: Mc Graw Hill, Ind.
Walgito.
1990. Pengantar Psikologi Umum.
Yogyakarta: Andi Offset.