Selamat Datang di Blog saya, semoga berkenan meninggalkan komentar untuk perbaikan !

Selasa, 01 Oktober 2013

PENGARUH KONSEP DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KEMAMPUAN BERGAUL SISWA DI SMA NEGERI 1 WADASLINTANG WONOSOBO



Hikmah,S.Pd.I
 BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Masa remaja diibaratkan sebagai masa strom and stres, yang di warnai dengan disequilibrium yaitu ketidakseimbangan sikap dan emosi, sehingga remaja mudah berubah, bergejolak, dan tidak menentu (Utaminingsih, 2002: 43). Ketidak seimbangan tersebut biasanya terjadi pada masa remaja tengah, hal yang paling menonjol pada masa itu adalah perubahan sikap sosial. Sikap sosial yang dimaksud adalah perilaku yang di tunjukkan remaja yang berkaitan dengan sosialisasi terhadap individu lain. Contoh perubahan sikap sosial pada masa remaja adalah ketika menjalin kedekatan dengan lawan jenisnya. Sikap sosial remaja yang begitu intim dengan lawan jenis akan dianggap kurang baik oleh masyarakat. Perubahan sikap sosial tersebut terkadang menyulitkan bagi remaja.
Hurlock (1980: 31) menjelaskan bahwa salah satu tugas perkembangan masa remaja tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus membuat banyak penyesuaian baru untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, meningkatkan hubungan teman sebaya, perubahan dalam perilaku sosial yang baru, nilai- nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai- nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, serta nilai- nilai baru dalam seleksi pemimpin. Remaja juga akan lebih cenderung terpengaruh oleh teman sebayanya dalam menentukan gaya, terutama gaya dalam berpakaian untuk menentukan jati diri mereka. Pada masa remaja awal tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat belum terlalu kelihatan, tapi saat memasuki masa remaja tengah akan mulai terlihat.
Masa remaja juga merupakan masa transisi, karena pada masa remaja banyak terjadi perubahan secara fisik, namun perubahan fisik kadang- kadang sulit diterima. Hal tersebut disebabkan remaja tidak hanya menyesuaikan dirinya dengan perubahan yang menyertai pubertas, melainkan remaja juga harus menerima bentuk dan ukuran tubuhnya yang baru. (Hurlock, 1980: 18). Apabila remaja mampu elewati masa transisinya dengan baik, maka dikemudian hari akan menjadi mukmin yang baik. Balasan terhadap mukmin yang baik tercantum dalam surat Al- Insaan ayat 12-13 yang artinya:
“Dan Allah memberikan balasan kepada mereka atas kesabaran mereka dengan surga dan pakaian sutera. (Di dalamnya ) mereka duduk bergeletakan di atas sofa, mereka tiada melihat (merasakan) di dalamnya (terik) matahari dan tidak pula dingin yang bersengatan (Al- Insaan ayat 12-13)”

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa balasan yang diberikan Allah SWT kepada individu yang berhasil menjadi orang mukmin yang baik sangat membahagiakan. Bagi sesama umat muslim diharapkan untuk saling mengingatkan, sehingga diharapkan manusia yang lebih dewasa dapat membantu para remaja untuk dapat melewati masa transisinya dengan baik agar terhindar dari perbuatan maksiat.
Pada dasarnya manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosial, karena sejak dahulu manusia sudah menaruh minat yang besar pada tingkah lakunya dalam bersosialisasi pada masyarakat. Manusia dituntut untuk berhubungan dengan orang lain, termasuk dengan lawan jenis maupun dengan orang dewasa, lingkungan keluarga dan sekolah (Hurlock, 1980: 27). Dalam hal berhubungan dengan orang lain, diperlukan kemampuan bergaul.
Kemampuan bergaul merupakan terjemahan dari ability to make interpersonal relationship yang dikemukakan oleh De Vito (1997: 44), dalam bergaul tampak adanya unsur ketrampila interpersonal atau kompetensi sosial, oleh karena itu kemampuan bergaul juga dapat diterjemahkan sebagai social skill (Michelson & Kelley dalam Kelley, 1982: 20). Kemampuan bergaul ini ditandai dengan adanya kemampuan untuk menerima dan mengerti dirinya secara realistis, memandang sekitarnya dengan akurat, bebas dari konflik dan mampu mengelola stres secara efektif, dan yang terpenting adalah kemampuan untuk mengembangkan potensi fisik, intelektual, dan kompetensi sosial (Jahoda dalam Utaminingsih, 2002: 19).
Masyarakat sangat berharap setiap remaja mampu mengembangkan pergaulan dengan baik, sebab remaja yang mampu bergaul, dalam kehidupan sehari- hari akan mudah mendapatkan teman, mampu berkomunikasi dengan baik, mampu menanyakan atau memberikan informasi selama berkomunikasi tanpa adanya perasaan tegang ataupun perasaan tidak enak (Helmi & Ramdhani, 1992: 33). Kemampuan ini akan menjadi bekal hidup remaja. Namun, berdasarkan pengamatan dalam kehidupan sihari- hari, kenyataannya banyak remaja yang mengalami kesulitan dalam bergaul. Kurang lebih satu dari lima remaja di Indonesia mengalami kesulitan dalam bergaul (Kartikasari, 1995: 48). Remaja di Indonesia masih banyak yang merasa minder untuk berinteraksi dengan individu lain sehingga kemampua bergaulnya menjadi kurang. Banyak juga remaja terutama siswa- siswa SMA di kota- kota besar Indonesia memiliki kemampuan bergaul yang buruk, ditunjukkan dengan keterlibatan remaja pada narkoba. Hanya karena takut “dilecehkan” teman- teman dan dianggap kurang “gaul”, remaja terkadang terlibat dengan narkoba (Kedaulatan Rakyat, 3 Januari 2008).
Kesulitan bergaul adalah ketidakmampuan atau kegagalan remaja dalam membina hubungan sosial. Remaja yang mengalami kesulitan bergaul dapat pasif atau agrasif (Le Croy, dalam Kartono 1996: 29). Pada remaja yang pasif manifestasi kesulitan bergaul ini dalam bentuk ketidak beranian memulai suatu percakapan, kesulitan untuk berkata tegas terhadap diri sendiri atau orang lain, dan pada umumnya mereka tidak mempunyai teman akrab (Buss dalam Calhoun & Accocella, 1995: 10). Pada remaja yang agresif, kesulitan bergaul ini termanifestasi dalam usaha untuk menentang perasaan malu dengan cara menguasai lingkungannya. Bentuk agresif dari  ketidakmampuan remaja melakukan penyesuaian baik dalam dirinya maupun dengan lingkungan sosialnya antara lai penggunaan NAPZA, perkelahian antar pelajar, dan pergaulan bebas (Maharani & Andayani, 2003: 28).
Dariyo (2004: 30) mengungkapkan bahwa dukungan sosial dan konsep diri merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan bergaul. Dukungan sosial merupakan penerimaan lingkungan seperti keluarga, teman sebaya, atau individu lain terhadap diri seseorang. Individu yang hidup dalam keluarga yang hangat, penuh kasih sayang, menjunjung nilai- nilai kebenaran diyakini akan membantu individu dalam ketrampilan mengungkapkan keinginan kepada orang lain sehingga akan mempengaruhi kemampuan bergaulnya.
Lazardus dan Wolpe (dalam Ramdani, 1996: 37), mengemukakan bahwa remaja yang mengalami kesulitan bergaul, dapat disebabkan oleh adanya kecemasan yang menghambat remaja dalam melakukan sosialisasi. Kecemasan yang dimiliki remaja dalam pergaulan adalah kecemasan ketika memulai pembicaraan, terlibat dalam pembicaraan, atau kecemasan dalam melakukan aktivitas- aktivitas dengan orang lain. Ahli lain mengemukakan bahwa remaja yang mengalami kesulitan bergaul karena adanya kecemasan yang timbul akibat dari hubungan sosial yang dlakukan sebelumnya tidak kuat. Hubungan sosial yang gagal dilakukan akan menimbulkan perasaan cemas, sehingga ada pengalaman yang tidak menyenangkan dalam melakukan hubungan sosial (Ramdhani, 1966: 20).
Ellis dan Harper (dalam Ramdhani, 1996: 36), mengatakan bahwa remaja yang mengalami kesulitan bergaul dikarenakan adanya konsep diri negatif berupa kesalahan kognitif yang bersifat subyektif, yaitu penilaian yang keliru mengenai dirinya.
Menurut Rakhmad (2003: 26), kemampuan bergaul berhbungan dengan dukungan sosial dan konsep diri. Dukungan sosial sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan individu, karena individu adalah makhluk sosial yang selalu berhubungan satu sama lain. Kurang atau tidak tersedianya dukungan sosial akan menjadikan remaja merasa tidak berharga dan terisolasi (Pearson, 1990: 30). Keadaan ini memungkinkan terjadinya berbagai masalah dalam kehidupan remaja. Sebaliknya, tersedianya dukungan sosial akan memberikan pengalaman pada remaja bahwa dirinya dicintai, dihargai, dan diperhatikan (Pearson, 1990: 21). Sedankan Frankel dan Lewil (dalam Pudjijogyanto, 2000: 17), menyatakan bahwa bagaimana remaja menerima dukungan sosial lebih merupakan suatu pengalaman pribadinya yang melibatkan penghayatan pribadi terhadap hubungan sosialnya dengan orang lain. Dengan demikian fungsi dukungan sosial dipengaruhi oleh agaimana persepsi remaja terhada dukungan yang diterima dari lingkungan sosialnya.
Dalam penelitian Saranson dkk (Karono, 1996: 38), menunjukkan hasil bahwa remaja yang mendapatkan dukungan sosial yang tinggi akan mengalami hal- hal positif dalam hidupnya, mempunyai self esteem yang tinggi dan self concept yang lebih baik. Sedangkan remaja yang dukungan sosialnya rendah akan cenderung mengalami kesulitan dalam menghadapi masalah dalam pergaulannya.
Sedangkan penelitian lain juga mendukung penelitian Saranson dkk yakni, penelitian yang dilakukan oleh Maharani dan Andayani (2003: 28), menunjukkan hasil bahwa ada hubungan yang positif antara dukungan sosial dengan kemampuan bergaul pada remaja. Semaki tinggi dukungan sosial yang diperoleh remaja makin tnggi pula kemampuan bergaulnya, begitu juga sebaliknya.
Dapat dipahami bahwa konsep diri merupakan salah satu variabel lain yang berhubungan dengan kemampuan bergaul. Menurut Dariyo (2004: 36), konsep diri terbentuk atas dua komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif merupakan pengetahuan remaja tentang dirinya, jadi komponen kognitif merupakan penjelasan dari “siapa saya” yang akan memberi gambaran tentang diri saya, gambaran tersebut akan membentuk citra diri. Sedangkan komponen afektif merupakan peilian terhadap diri. Penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri, serta harga diri remaja. Namun kedua komponen tersebut tidak akan sama dirasakan oleh setiap remaja, karena pemilikan konsep diri tidak sama antara satu dengan yang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Lossner (dalam Partosuwido, 1997: 39), menunjukan hasil bahwa terdapat hubungan yang positif antara konsep diri dengan kemampuan bergaul remaja. Artinya semakin positif konsep diri maka akan semakin tinggi kemampuan bergaul remaja. Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa pada umumnya remaja memiliki konsep diri yang rendah.
Berdasarkan uraian di atas, penulis berasumsi bahwa ada keterkaitan antara dukungan sosial dan konsep diri dengan kemampuan bergaul, maka penulis ingin meneliti “Pengaruh Konsep Diri dan Dukungan Sosial terhadap Kemampuan Bergaul Siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo.”
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1.    Bagaimana konsep diri siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
2.    Bagaimana dukungan sosial siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
3.    Bagaimana kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
4.    Seberapa besar pengaruh konsep diri terhadap kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
5.    Seberapa besar pengaruh dukungan sosial terhadap kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
6.    Seberapa besar pengaruh konsep diri dan dukungan sosial terhadap kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
C.  Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian in adalah sebagai berikut:
1.    Untuk menggambarkan bagaimana konsep diri siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
2.    Untuk menggambarkan bagaimana dukungan sosial siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
3.    Untuk menggambarkan bagaimana kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
4.    Untuk membuktikan seberapa besar pengaruh konsep diri terhadap kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
5.    Untuk membuktikan seberapa besar pengaruh dukungan sosial terhadap kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
6.    Untuk membuktikan seberapa besar pengaruh konsep diri dan dukungan sosial terhadap kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo?
Berdasarkan dari hasil teori, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat sebagai berikut:
1.    Secara Teoritis
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan kepada teori- teori psikologi khususnya psikologi pendidikan Islam, psikologi perkembangan dan psikologi sosial.
2.    Secara Praksis
a.    Bagi pihak subyek (siswa SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo)
Memberikan informasi pada remaja pentingnya mengembangkan konsep diri untuk meningkatkan kemampuan bergaul.
b.    Bagi pihak orang tua subyek
Diharapkan kepada orang tua untuk selalu memberikan dukungan sosial, demi membangun konsep diri remaja sehingga remaja mampu untuk bergaul.
c.    Bagi para pembaca dan pecinta psikologi akan bermanfaat bagi pemahaman kita.
D.  Landasan Teori
1.    Kemampuan Bergaul
a.    Pengertian Kemampuan Bergaul
Bergaul dilakukan seseorang dengan tujuan untuk menjalin interaksi dengan orang lain (De Vito, 1997: 67). De Vito (1977: 17), menambahkan bahwa dalam bergaul hubungannya  dengan sifat interpersonal. Oleh karena itu dalam pola bergaul yang demikian terkandung proses komunikasi, atraksi, kerja sama, konflik, saling percaya, persahabatan, bahkan mungkin rasa cinta. Pendapat tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh Kelly (1982: 33), yaitu bahwa dalam bergaul nampak adanya unsur ketrampilan sosial yang dimiliki secara interpersonal.
Bergaul yang Islami menurut Tauchid (2007: 45) adalah melakukan interaksi terhadap individu lain dengan tidak melanggar atura agama Islam yang tercantum dalam Al- Qur’an dan Hadits. Pergaulan yang dilakukan harus saling membawa manfaat yang baik bagi kedua belah pihak. Antara laki- laki dan perempuan dalam pergaulan Islam dapat saling berinteraksi, namun keduanya tidak dapat melakukan kedekatan yang dapat membawa kepada meningkatnya sahwat atau perzinaan. Artinya, ada pembatasan pergaulan antara laki- laki dan perempuan dalam Islam.
Ellis dan Harper (Gunarsa, 1991: 50) menjelaskan bahwa kemampuan bergaul merupakan kesanggupan individu untuk menjalin hubungan sosial dengan individu lain. Kemampuan bergaul selayaknya ditingkatkan karena dapat membantu individu dalam menjalin interaksi dengan individu lain. Kemampuan bergaul pada masa anak- anak umumnya belum begitu baik karena anak belum mampu memahami perasaan orang lain dengan baik. Contohnya anak saat bermain bersama dengan teman- temannya dapat secara tiba- tiba merebut mainan temannya yang pada akhirnya membuat temannya menangis. Anak terkadang belum mampu memahami cara bergaul yang benar.
Dimasa remaja, individu tidak dapat lagi berikap seperti anak- anak. Remaja membutuhkan kemampuan bergaul yang lebih baik dibandingkan dengan masa kanak- kanak. Hal tersebut dikarenakan pada masa remaja, individu akan mengurangi ketergantungannya terhadap keluarga dan beralih tertarik pada teman sebaya.
Secara psikologis remaja adalah usia dimana individu berinteraksi dengan masyarakat dewasa, individu memiliki hak yang sama dengan hak orang dewasa, individu mengalami perubahan intelektual yang menonjol. Calon (dalam Monks 1995: 63), menyatakan bahwa remaja sebagai masa transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa tetapi tidak lagi memperolah status kanak- kanak. Masa remaja adalah masa peralihan dari anak- anak kemasa dewasa yang bukan hanya dalam arti psikologis tetapi termasuk fisik dan sosialnya (Hurlock, 1980: 17). Pada masa remaja perubahan fisik inilah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan psikis merupakan akibat adanya perubahan fisik tersebut (Sarwono dalam Pudjianto, 2000: 36).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan bergaul remaja merupakan suatu hasil interpretasi yang menimbulkan pendapat tentang keberhasilan individu yang masuk kemasa transisi atau masa peralihan dari masa kanak- kanak menuju dewasa, dalam berinteraksi secara sehat dan harmonis terhadap relitas sosial untuk memenuhi kebutuhan menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
b.    Aspek- aspek Persepsi Kemampuan Bergaul
Menurut Ellis dan Harper (Gunarsa, 1991: 46), aspek kemampuan bergaul ada tiga yaitu:
1)   Komunikasi verbal berupa keinginan untuk melakukan komunikasi interpersonal.
2)   Komunikasi nonverbal berupa keinginan untuk melakukan pertemuan dengan orang lain.
3)   Gambaran mental adanya gambaran atau pikiran yang positif mengenai penilaian orang lain terhdap dirinya
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aspek kemampuan bergaul terdiri dari komunikasi verbal, komunikasi nonverbal, dan gambaran mental.


c.    Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Bergaul
Kecerdasan emosi menurut Goleman (2006: 47) dapat mempengaruhi kemampuan bergaul individu. Lebih lanjut Goleman menjelaskan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi akan mampu mengelola perasaan, serta memiliki empati pada individu lain. Empati akan membuat remaja dapat merasakan perasaan orang lain dan akan membuatnya bersikap hati- hati dalam bergaul agar tidak menyakiti perasaan orang lain.
Dagun (1990: 46), menjelaskan bahwa kemampuan bergaul dapat dipengaruhi leh dukungan sosial. Remaja biasanya kurang memiliki kepercayaan diri karena sebagaimana yang dijelaskan oleh Hurlock (1980: 72) remaja masih banyak bergantung pada individu lain. Hal itu membuat dukungan sosila akan membuat remaja percaya pada kemampuannya dan merasa individu lain mau menerima kehadirannya sehingga kemampuan bergaul remaja akan semakin baik, remaja akan “berani” dalam melakukan interaksi dengan individu lain.
Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan bergaul adalah konsep diri. Coppersmith (dalam Partosuwido, 1997: 60) menyatakan bahwa adanya konsep diri yang positif pada remaja akan membuat remaja merasa setara dengan individu lain sehingga tidak mengalami ketakutan untuk bergaul. Remaja yang memandang dirinya secara positif akan memahami kelebihan serta kekurangannya, dan menganggap individu lain juga memiliki kekurangan dan kelebihan. Pemahaman tersebut membuat remaja tidak merasa rendah diri bergaul dengan remaja lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi, dukungan sosial, serta konsep diri merupakan faktor- faktor yang mempengaruhi kemampuan bergaul remaja. Dalam penelitian ini penulis menggunakan faktor dukungan sosial dan faktor konsep diri sebagai faktor yang mempengaruhi kemampuan bergaul remaja. 
2.    Dukungan Sosial
a.    Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial atau sosial support timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat keadaan atau peristiwa yang dipandan akan menimbulkan masalah, dan bantuan tersebut dirasakan dapat menaikkan perasaan positif serta mengangkat harga diri. Keadaan atau kondisi psikologis ini dapat mempengaruhi respon- respon dan perilaku individu sehingga akan berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara umum (Cohen & Wills dalam Wills, 1985: 42). Hobfoll (dalam Utaminingsih, 2002: 38), mendefinisikan dukungan sosial sebagai interaksi sosial atau hubungan yang memberikan sesuatu bantuan nyata kepada individu- individu sebagai kepercayaan sistem sosial terhadap tersedianya kasih sayang, perhatian atau rasa kelekatan terhadap kelompok sosial yang dihadapi.
Tauchid (2007: 38) menjelaskan bahwa dukungan sosial dalam Islam merupakan bantuan yang diberikan individu kepada individu lain. Setiap orang memerlukan dukungan sosial dan harus saling memberikan dukungan sosial. Hal itu dikarenakan manusia secara kodratnya adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Tanpa adanya dukungan sosial maka akan sulit bagi individu untuk dapat menjalani kehidupannya dengan baik.
Cohen dan Syme (1985: 29) menjelaskan bahwa dukungan sosial adalah hubungan antar individu yang didalamnya terdapat saling memberi bantuan, kepercayaan, dan saling menghargai. Dukungan sosial akan membuat individu dapat memahami dirinya dan menyelesaikan masalah- masalah yang dihadapi karena bantuan atau keberadaan individu lain.
Walgito (2002: 17), menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan hubungan antara individu dengan lingkungannya terutama lingkungan sosial yang bersifat timbal balik, lingkungan mempengaruhi individu dan individu mempengaruhi perkembangan lingkungan. Selain mengadakan kontak- kontak sosial manusia juga membutuhkan dukungan dari orang lain dalam mengantisipasi dan menghadapi suatu masalah.
Dengan demikian dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa manusia tidak akan dapat hidup tanpa manusia lain, sebab sebagai makhluk sosial tentu tidak lepas dari lingkungan sosial yang selalu membutuhkan dorongan dari lingkungan baik berupa moril maupun materi untuk mengantisipasi dan menghadapi suatu masalah. Dukungan sosial merupakan interaksi sosial atau hubungan yang memberikan suatu keuntungan timbal balik. Di dalam dukungan sosial, individu dapat memberi bantuan nyata kepada individu lain, bantuan ersebut dapat berupa sebagai kepercayaan sistem sosial terhadap tersedianya kasih sayang, perhatian atau rasa kelekatan terhadap kelompok sosial yang dihargai.
b.    Aspek- aspek Dukungan Sosial
Pada dasarnya menurut Cohen & Syme (1985: 56), terdapat empat bentuk dukungan sosial yaitu:
1)   Dukungan Emosional
Dukungan yang diterima individu dari orang- orang di sekitarnya dalam bentuk kasih sayang, penghargaan, perasaan didengarkan, perhatian dan kepercayaan yang di peroleh individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, baik masalah pribadi atau masalah yang berkaitan dengan studi.
2)   Dukungan Penghargaan
Dukungan yang diterima individu dalam bentuk penilaian, penguatan, umpan balik dan perbandingan sosial dalam upaya mendukung perilakunya dalam kehidupan sosial.
3)   Dukungan Informasi
Dukungan yang diterima individu dalam bentuk informasi, nasehat, saran yang berguna untuk mempermudah seseorang dalam menjalani hidupnya.
4)   Dukungan Instrumental
Sarana yang tersedia untuk menolong individu melalui waktu, uang, alat, bantuan, pekerjaan dan modifikasi lingkungan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa aspek- aspek dukungan sosial terdiri dari dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan penghargaan. Dukungan sosial adalah interaksi sosia atau hubungan yang memberikan suatu bantuan nyata kepada individu- individu sebagai kepercayaan sistem sosial terhadap tersedianya kasih sayang, perhatian atau rasa kelekatan terhadap kelompok sosial yang dihargai dan meliputi spek- aspek seperti dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan penghargaan.
3.    Konsep Diri
a.    Pengertian Konsep Diri
Apabila di dalam fikiran, seseorang memandang negatif tentang dirinya maka ada unsur penilaiaan diri yang negatif. Penilaian diri tidak dapat lepas dari konsep diri. Konsep diri merupakan hal yang sangat vital dipandang sebagai inti atau faktor primer kepribadian. Konsep diri dianggap sebagai kunci yang berperan mengatur dan mengarahkan perilaku manusia (Shiffer 1992: 38).
Secara umum konsep diri diartikan sebagai konsep seseorang mengenai dirinya sendiri (Shaveson & Bolus dalam Rakhmad, 2003: 59). Selanjutnya Rakhmad (2003: 30), mengatakan bahwa konsep diri remaja bukan hanya sekedar gambaran diskriptif saja melainkan juga penilaian seseorang terhadap dirinya. Jadi meliputi apa yang ada dipikiran dan apa yang dirasakan tentang dirinya sendiri. Epstein (dalam Benzonsky, 1981: 72), menyatakan bahwa konsep diri adalah sebagai kesan individu terhadap dirinya secara keseluruhan, mencakup pendapatnya tentang gambaran dirinya dimata orang lain dan pendapatnya tentang hal- hal yang dicaainya. Konsep diri yaitu merupakan pengertian dan harapan seseorang mengenai bagaimana diri yang dicita- citakan dan bagaimana dirinya dalam realita yang sesungguhnya (Hurlock, 1980: 69).
Islam mengharapkan umatnya memiliki konsep diri yang positif dalam arti individu diharapkan tidak dapat memandang rendah dirinya. Islam bahkan secara tegas menjelaskan bahwa manusia adalah khalifah dimuka bumi ini sehingga sebaiknya mampu menjadi seorang pemimpin yang baik. Pandangan Islam yang menganggap manusia khalifah merupakan peghargaan terhadap keberadaan manusia sehingga secara tidak langsung Islam mengharapkan umatnya juga mampu menghargai dirinya. Adanya konsep diri  yang positif akan membuat manusia menghargai dirinya sendiri (Tauchid, 2007: 53).
Maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan faktor primer kepribadian karena konsep diri diaggap sebagai kunci yang berperan mengatur dan mengarahkan perilaku manusia. Konsep diri merupakan pandangan, penilaian, pengertian, harapan, dan perasaan seseorang terhadap dirinya maupun persepsi mengenai diri sendiri baik yang bersifat fisik, sosial maupun psikologis melalui pengalaman individu dengan orang lain.
b.    Aspek- aspek Konsep Diri
Menurut Pudjiyogyanti (1985: 3) memberikan penjelasan bahwa aspek konsep diri terdiri dari dua aspek yaitu:
a.       Aspek kognitif
Pengetahuan individu mengenai dirinya, yang di sebut sebagai gambaran diri yang akan membentuk citra diri (self image).
b.      Aspek afektif
Merupakan penilaian individu tentang dirinya, penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (self acceptance), serta harga diri  (self esteem) individu.



Menurut Rakhmat (2003: 126) aspek konsep diri meliputi hal- hal berikut:
a.       Ideal self  yaitu pengertian mengenai seseorang mengenai bagaimana seharusnya “aku” atau keinginan seseorang terhadap dirinya.
b.      Social self yaitu pengertian seseorang yang berhubungan dengan pikiran mengenai dirinya dalam berhubungan dengan orang lain.
c.       Real self yaitu pengertian seseorang tentang bagaimana aku yang sebenarnya.
Menurut pandangan Epstein (dalam Berzonsky, 1981: 49), terdiri dari empat aspek yaitu:
1)      Aspek fisik, meliputi penilaian individu terhadap segala sesuatu yang dimilikinya seperti tubuh, pakaian, benda miliknya dan sebagainya.
2)      Aspek sosial, meliputi bagaimana perasaan sosial yang dimainkan oleh individu dan sejauh mana penilaian individu terhadap kinerjanya.
3)      Aspek moral, meliputi nilai- nilai dan prinsip- prinsip yang memberikan arti dan arah bagi kehidupan seseorang.
4)      Aspek psikis, meliputi perasaan, pikiran, perasaan, dan sikap- sikap individu terhadap dirinya.
Berdasarkan semua uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konsep diri adalah pandangan, penilaian, pengertian, harapan, dan perasaan sesorang terhadap dirinya sendiri baik yang bersifat fisik, sosial maupun psikologis melalui pengalaman individu dengan orang lain, yang meliputi aspek fisik, aspek psikis, aspek sosial, dan aspek moral.
E.  Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian mengenai konsep diri, telah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Berbagai faktor yang berhubungan dengan konsep diri telah digunakan sebagai bahan penelitian, seperti:
Tesis Rian Maharani (Nim 201210100018) Psikologi Pendidikan Islam, MSI, UMY 2010 dengan judul “Hubungan antara Konsep Diri dengan Keterampilan Sosial dan Kemandirian Anak di Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiyah Yogyakarta”. Variabel dalam penelitian ini adalah konsep diri dengan keterampilan sosial dan kemandirian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penghuni panti asuhan yatim putri Aisyiyah Yogyakarta yang berjumlah 78 anak. Subyek penelitian ini diambil seluruh populasi yaitu 78 orang. Teknik pengumpulan data menggunakan angket. Alat yang digunakan untuk menganalisis adalah korelasi parsial. Dari hasil penelitannya dapat disimpulkan bahwa: 1. Konsep diri anak di Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiyah Yogyakarta terbanyak kategori sedang (44,9%), kemudian diikuti tinggi (35,9%) dan terakhir rendah (19,2%), 2. Ketrampilan sosial anak di Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiyah Yogyakarta terbanyak kategori sedang (46,2%), kemudian diikuti tinggi (37,2%) dan terakhir rendah (16,7%), 3. Kemandirian anak di Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiyah Yogyakarta terbanyak kategori sedang (46,2%), kemudian diikuti tinggi (35,9%) dan terakhir rendah (17,2%), 4. Terdapat hubungan positif dan signifikan antara konsep diri dengan Keterampilan Sosial pada Anak di Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiyah Yogyakarta, dan 5. Terdapat hubungan positif dan signifikan antara konsep diri dengan Kemandirian pada Anak di Panti Asuhan Yatim Putri Aisyiyah Yogyakarta
Jurnal penelitian Rensi dan Luciana Sugiarti Fakultas Psikologi Universitas Katholik Soegijapranata  Jl. Pawiyatan Luhur IV/1 Bendan Dhuwur, Semarang. Jurnal Psikologi Volume 3, No. 2, Juni 2010, yang berjudul “Dukungan Sosial, Konsep Diri, dan Prestasi Belajar Siswa SMP Kristen YSKI Semarang” Penelitian ini dilakukan karena melihat adanya banyak faktor yang dapat berperan pada naik turunnya prestasi belajar seorang siswa. Hal ini dapat berupa sesuatu yang berasal dari dalam maupun dari luar diri siswa tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur pengaruh dukungan sosial dan konsep diri terhadap prestasi belajar siswa. Subjek penelitian adalah siswa-siswi SMP Kristen YSKI Semarang yang sedang duduk di kelas VII. Jumlah subjek 179 orang siswa, dan dari antaranya diambil sampel sebanyak 60 orang siswa. Penelitian ini menggunakan uji statistik simultan (uji statistik F) untuk menguji hipotesis mayor penelitian dan uji statstik t untuk menguji hipotesis minornya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial berpengaruh terhadap prestasi belajar. Juga ditemukan adanya pengaruh positif dari konsep diri terhadap prestasi belajar siswa.
Jurnal penelitian Kharisma Nail Mazaya dan Ratna Supradewi, Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung Semarang Proyeksi, Vol. 6 (2) 2011, 103-112 yang berjudul “Konsep Diri dan Kebermaknaan Hidup pada Remaja di Panti Asuhan” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris hubungan antara konsep diri dengan kebermaknaan hidup pada remaja putri di Panti Asuhan Sunu Ngesti Tomo Jepara. Hipotesis yang diajukan yaitu ada hubungan positif antara konsep diri dengan kebermaknaan hidup pada remaja di Panti Asuhan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua remaja penghuni panti asuhan di bawah UPT Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah. Sampel dalam penelitian ini adalah remaja penghuni Panti Asuhan Ngesti Tomo Jepara, berusia antara 15 sampai 21 tahun. Metode pengambilan sampel menggunakan purpossive sampling dengan jumlah sampel 51 orang. Kedua variabel dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala kebermaknaan hidup dan konsep diri. Teknik analisis data yang digunakan yaitu teknik korelasi product moment. Hasil analisis data diperoleh nilai korelasi rxy = 0,595 dengan p= 0,000 (p < 0,01). Hal ini menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara konsep diri dengan kebermaknaan hidup pada remaja di Panti Asuhan Sunu Ngesti Utomo Jepara. Artinya semakin tinggi konsep diri yang dimiliki remaja maka, semakin tinggi pula kebermaknaan hidupnya. Sebaliknya semakin rendah konsep diri yang dimilikinya, maka semakin rendah pula kebermaknaan hidupnya. Hasil dari uji korelasi tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima.
Jurnal penelitian Resti Asweni dan Khairani Jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang, Volume 2 Nomor 1 Januari 2013. Yang berjudul “korelasi antara Konsep Diri Sosial dengan Hubungan Sosial (Studi Korelasi terhadap Siswa SMP Negeri 2 Padang Panjang)”. Kemampuan orang-orang muda dalam hubungan sosial dapat dipengaruhi oleh konsep diri kepemilikan. Fakta bahwa ada menunjukkan siswa masih ditemui yang memiliki hubungan sosial yang buruk. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana korelasi antara sosial konsep diri siswa di sekolah hubungan sosial. Ketik berbentuk penelitian deskriptif korelasional. Populasi penelitian berjumlah 444 siswa, menggunakan teknik proporsional random sampling diperoleh sampel dari 82 siswa. Hasil penelitian menunjukkan korelasi yang signifikan antara sosial konsep diri hubungan sosial.
Jurnal penelitian Latifah Nur Ahyani Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus, Volume 1 No.1, Juni 2012, yang berjudil Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Penyesuaian Diri Remaja Di Panti Asuhan” Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian pada remaja di panti asuhan. Subyek penelitian ini adalah remaja antara usia 13 sampai 18 tahun di Panti Asuhan Darul Hadlonah Kudus. Metode pengambilan sampel menggunakan Non Kuota Random Sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala dukungan sosial disusun berdasarkan aspek-aspek yang diangkat oleh Sarafino di Oktavia, L (2002, hal.17-18) yang meliputi dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi. Sedangkan skala penyesuaian diri siap pada aspek yang diangkat oleh Pramadi (1996, h.240) yang mencakup aspek Pengetahuan Diri dan Insight Diri, aspek Objectifity Penerimaan diri dan Diri, aspek Pengembangan Diri dan Pengendalian Diri, aspek Kepuasan. Berdasarkan analisis data penelitian dengan Product Moment oleh SPSS 15.0 for Windows diperoleh dari kedua koefisien korelasi rxy sebesar 0,339 dengan p 0,011 (p <0,05) ini berarti hipotesis diterima dan menunjukkan hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian diri remaja di panti asuhan.
Dari penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan pada pengaruh konsep diri dan dukungan sosial terhadap kemampuan bergaul. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan menjelaskan tentang ” Pengaruh Konsep Diri dan Dukungan Sosial tehadap Kemampuan Bergaul Siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo”.
F.   Hipotesis
H1 : Ada pengaruh antara konsep diri terhadap kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo
H2: Ada pengaruh antara dukungan sosial terhadap kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo
H3: Ada pengaruh antara konsep diri dan dukungan sosial terhadap kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo
G. Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitiaan
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif karena data penelitisn berupa angka- angka dan analisis menggunakan statistik (Sugiono, 2009: 7).
2.      Definisi Operasional Variabel Penelitian
a.       Variabel Penelitian 
1)      Variabel Tergantung (Dependent Variabel)
Kemampuan bergaul (Y)                       
2)      Variabel Bebas (Independent Variabel)
Konsep diri (X1)
Dukungan sosial (X2)
3.      Subjek Penelitian
a.       Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono,2009:55). Dalam penelitian ini yang dimaksud populasi adalah keseluruhan siswa yang ada di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo.
Kelas X jumlah            240    siswa
Kelas XI jumlah          240    siswa
Kelas XII   jumlah       240    siswa
Jadi jumlah siswa SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo tahun ajaran 2013/2014 adalah 720 siswa.
b.      Sampel
Jika peneliti hanya akan meneliti sebagian dari populasi, maka penelitian tersebut disebut penelitian sampel. Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Sampel berstrata atau Stratified Sampel yaitu sampel yang diambil berdasarkan kelompok, yang mana, perolehan sampel diambil 20% dari populasi yang ada (Suharsimi Arikunto, 2010: 185).

Populasi dan Sampel
Kelas
Populasi (jumlah siswa)
Sampel 20%
X
180
36
XI
180
36
XII
180
36
Jumlah
540
108
Jadi jumlah keseluruhan sampel adalah 108 siswa.
4.      Teknik Pengumpulan Data
a.     Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menggunakan testie, alat ukur menggunakan skala, agket, observasi dan wawancara.
1)   Skala
Skala digunakan sebagai alat ukur primer karena atribut yang hendak di ukur merupakan atribut psikologis yang bersifat laten dan dapat diungkap melalui indikator perilaku yang dituangkan dalam bentuk item. Selain itu stimulus berupa pengetahuan yang tidak langsung mengungkap atribut rendah melainkan mengungkap indikator perilaku dana atribut yang bersangkutan. Dalam penelitian ini menggunkan tiga skala yaitu, skala dukungan sosial, skala konsep diri dan skala kemampuan bergaul.
Skala dikembangkan dengan model Summated Rating Scale, dukungan sosial, konsep diri dan kemampuan bergaul menggunakan empat elternatif jawaban yang sangat sesuai (SS), Sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS) dalam penelitian ini terbagi menjadi favorable dan unfaforable dengan skoring sebagai berikut:
Tabel.1. Cara Skoring
Alternatif
Soal Item
Faforable
Unvaforable
SS
4
4
S
3
3
TS
2
2
STS
1
1

a.    Skala dukungan sosial
Skala dukungan sosial disusun sendiri oleh peneliti, berdasarkan teori Cohen&Syme (1985: 56) yang terdiri dari empat aspek yaitu, dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan informasi, dan dukungan instrumental.
Tabel. 2. Skala Dukungan Sosial sebelum uji coba.
No
Aspek
Bobot %
1
Dukungan Emosional
25 %
2
Dukungan Penghargaan
25 %
3
Dukungan Informasi
25 %
4
Dukungan Instrumental
25 %
Total
100 %
Skala dukungan sosial terlebih dahulu di uji cobakan sebelum di gunakan untuk mengambil data yang sesungguhnya.
Tabel. 3. Kisi- kisi Dukungan Sosial
Aspek
Favorabel
Unfavorabel
Jumlah
Dukungan Emosional
1,9,17,25,33,41,49
5,13,21,29,37,45
12
Dukungan Penghargaan
2,10,18,26,34,42,50
6,14,22,30,38,46
13
Dukungan Informasi
3,11,19,27,35,43
7,15,23,31,39,47
13
Dukungan Instrumental
4,12,20,28,36,44
8,16,24,32,40,48
12
Jumlah
25
25
50
Keseluruhan item dalam skala dukungan sosial berjumlah 50 butir, terdiri dari 25 item favorabel dan 25 unfavorabel.

b.    Skala konsep diri
Skala konsep diri disusun sendiri oleh peneliti, berdasarkan teori menurut pandangan Epstein (dalam Benzonsky, 1981: 49) dari empat aspek yaitu, aspek fisik, aspek sosial, aspek moral, dan aspek psikis.
Tabel. 4. Skala Konsep Diri
No
Aspek
Bobot %
1
Aspek Fisik
25 %
2
Aspek Sosial
25 %
3
Aspek Moral
25 %
4
Aspek Psikis
25 %
Total
100 %
Skala konsep diri terlebih dahulu di uji cobakan sebelum di gunakan untuk mengambil data yang sesungguhnya.
Tabel. 5. Kisi- kisi Konsep Diri
Aspek
Favorabel
Unfavorabel
Jumlah
Aspek fisik
1,9,17,25,33,41,49
5,13,21,29,37,45
12
Aspek sosial
2,10,18,26,34,42,50
6,14,22,30,38,46
13
Aspek moral
3,11,19,27,35,43
7,15,23,31,39,47
13
Aspek psikis 
4,12,20,28,36,44
8,16,24,32,40,48
12
Jumlah
25
25
50
Keseluruhan item dalam skala konsep diri berjumlah 50 butir, terdiri dari 25 item favorabel dan 25 unfavorabel.
c.    Skala Kemampuan Bergaul
Skala kemampuan bergaul disusun sendiri oleh peneliti, berdasarkan teori Ellis&Harper (Gunarsa, 1991: 46) yang terdiri dari tiga aspek yaitu, kemampuan verbal, kemampuan nonverbal, dan kemampuan mental.
Tabel. 6. Skala Kemampuan Bergaul
No
Aspek
Bobot %
1
Kemampuan Verbal
35 %
2
Kemampuan Nonverbal
35 %
3
Gambaran Mental
30 %
Total
100 %
Skala kemampuan bergaul terlebih dahulu di uji cobakan sebelum di gunakan untuk mengambil data yang sesungguhnya.
Tabel. 7. Kisi- kisi Kemampuan Bergaul
Aspek
Favorabel
Unfavorabel
Jumlah
Komunikasi verbal
1,7,13,19,25,31,37,43,49
4,10,16,22,28,34,40,46
17
Komunikasi nonverbal
2,8,14,20,26,32,38,44,50
5,11,17,23,29,35,41,47
17
Komunikasi mental
3,9,15,21,27,33,39,45
6,12,18,24,30,36,42,48
16
Jumlah
26
24
50
Keseluruhan item dalam skala kemampuan bergaul berjumlah 50 butir, terdiri dari 26 item favorabel dan 24 unfavorabel.
2)   Metode Angket
Angket adalah suatu daftar pertanyaan untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden (orang-orang yang menjawab) (Kuntjaraningrat, 1983: 89). Dalam penelitian ini angket yang digunakan adalah angket tertutup, yaitu responden tinggal memilih jawaban yang tersedia. Bila dilihat dari jawaban yang diberikan, maka menggunakan angket langsung, sedangkan dilihat dari bentuknya, maka berbentuk chek list (√ ).
Pertimbangan yang mendasari penelitian ini menggunakan angket, karena angket sebagai pengumpul data memiliki dasar seperti :
1)   Subjek adalah orang yang paling tau tentang dirinya sendiri.
2)   Apa yang dikemukakan oleh responden kepada penyelidik atau peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.
3)   Interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan yang dimaksud oleh peneliti (Sutrisno Hadi, 1987:175).
Skala yang digunakan dalam angket ini yaitu dengan menggunakan skala Likert. 

3)   Metode Wawancara
Metode ini dipergunakan untuk mendapatkan data dengan cara Tanya jawab langsung . peneliti melakukan wawancara dengan staf pengajar SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo.
4)   Metode Observasi
Observasi adalah pengamatan yang meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan alat indra (Suharsimi Arikuntoro, 1996:145).
5.      Instrumen Penelitian
 Instrumen adalah alat bantu pada waktu peneliti menggunakan suatu metode pengumpulan data, (Sutrisno Hadi, 1987: 175) dan alat dalam penelitian ini berupa angket.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah :
a.        Merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan angket.
b.      Merumuskan definisi operasional dari setiap variabel yang akan diungkap.
c.       Menentukan indikator-indikator variabel.
d.      Membuat kisi-kisi angket dari setiap variabel.
e.       Merumuskan pertanyaan-pertanyaan atas kisi-kisi yang dibuat.
6.      Analisis Instrumen
a.     Uji Validitas Instrumen
Validitas  adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrument. Alat ukur dikatakan valid jika alat ukur itu dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.  Dalam penelitian ini dilakukan uji validitas internal, yang nantinya akan tercapai apabila terdapat kesesuaian antara bagian-bagian instrumen dengan instrumen secara keseluruhan, sehingga menghasilkan sebuah instrument yang tidak menyimpang dari fungsi instrument. Pengujjian validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan analisis butir. Untuk menguji validitas setiap butir maka skor-skor yang ada pada butir yang dimaksud dikorelasikan dengan skor total dengan menggunakan teknik Korelasi Product moment dari Pearson.
Dengan diperolehnya indeks validitas setiap butir dapat diketahui dengan pasti butir-butir manakah yang tidak memanuhi syarat ditinjau dari segi validitasnya. Jika rxy > r tabel, maka korelasi tersebut signifikan, yang artinya butir angket tersebut valid dan dapat dipergunakan untuk pengambilan data (Suharsimi Arikunto, 2002:72).
b.    Uji Reliabilitas Instrumen
Reliabel artinya dapat dipercaya atau dapat diandalkan, jadi instrument dikatakan reliabel apabila instrumen itu dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Berkaitan dengan kriteria yang digunakan untuk mengetahui reliabilitas, Suharsimi Arikunto berpendapat bahwa secara garis besar ada dua jenis reliabilitas yaitu reliabilitas eksternal dan reliabilitas internal. Dalam penelitian ini akan diuji reliabilitas internal yang diperoleh dengan cara menganalisis data dari satu kali pengetesan. Karena penelitian ini menggunakan angket yang memakai skala Likert, maka untuk pengukuran reliabilitasnya menggunakan rumus Alpha. Rumus Alpha digunakan untuk mencari reliabilitas instrument yang skornya bukan 1 dan 0, melainkan instrument yang skornya merupakan rentangan beberapa nilai (misalnya 1-10 atau 0-100) atau yang terbentuk skala 1-3, 1-5, dan seterusnya.
Sedangkan rumus Alpha yang dimaksud adalah:

Keterangan:
   = reliabilitas instrumen                                    
     = banyaknya butir pertanyaan
   = jumlah varians butir
  = varians total (Suharsimi Arikunto, 2002: 17).
7.      Analisis Data
a.       Analisis Diskriptif
Statistik diskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah 1 sampai 3 atau untuk menggambarkan bagaimana konsep diri, dukungan sosial dan kemampuan bergaul siswa di SMA Negeri 1 Wadaslintang Wonosobo. Cara penyajian data dengan prosentasi yaitu dengan tabel distribusi frekuensi.
P=F/N x 100%
P                 : Hasil prosentase
F                 : Frekuensi jawaban
N                : Jumlah frekuensi/ Banyaknya individu
100%          : Bilangan konstanta
b.      Analisis Statistik
Setelah data terkumpul, maka langkah berikutnya adalah mengelola, menganalisa, serta mengambil kesimpulan dari data yang terkumpul. Tujuan analisa data dalam penelitian adalah untuk menyempitkan membatasi penemuan-penemuan sehingga menjadi data yang teratur dan tersusun rapi. Dalam pengolahan ini, penulis menggunakan metode analisis kuantitatif. Metode kuantitatif adalah metode untuk menganalisa menurut dasar-dasar statistik, seperti yang dikemukakan oleh Anas Sudijono, yaitu:
“Metode statistik yaitu cara-cara tertentu yang perlu ditempuh dalam rangka mengumpulkan, menyusun, atau mengatur, menyajikan, menganalisa, dan memberikan interpretasi terhadap sekumpulan bahan keterangan yang berupa angka, sedemikian rupa hingga kumpulan bahan keterangan yang berupa angka dapat berbicara atau memberikan pengertian dan makna tertentu”(Anas Sudijono,2011: 3).

Sesuai dengan judul dan tujuan penelitian ini, maka persoalannya difokuskan untuk membuktikan pengaruh konsep diri dan dukungan sosial terhadap kemampuan bergaul siswa  di SMA 1 Wadaslintang Wonosobo. Teknik analisis data menggunakan regresi ganda karena penelitian ini terdiri dari dua variabel bebas (X1X2) dan satu variabel terikat (Y). Teknik uji analisis di atas menggunakan program SPSS for windows 16. Adapun kaidah untuk menentukan status signifikansi hipotesis yaitu: apabila p≤0,05 maka dinyatakan signifikan.
H.  Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam tesis ini akan dibuat dalam lima bab sebagai berikut:
Bab I, membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, serta sistematika pembahasan.
Bab II, menjelaskan tentang tinjauan pustaka yang berkaitan dengan kemampuan bergaul, didalamnya meliputi pengertian kemampuan bergaul, aspek- aspek persepsi kemampuan bergaul, serta faktor- faktor yang mempengaruhi bergaul. Dukungan sosial meliputi pengertian dan aspek- aspek dukungan sosial. Konsep diri meliputi pengertian konsep diri, aspek- aspek konsep diri. Sub bab berikutnya adalah landasan teori dan diakhiri dengan hipotesis.
Bab III, berkaitan dengan metodologi penelitian terdiri dari identifikasi variabel, deinisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas, reliabilitas dan metode analisis data.
Bab IV, akan diuraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan dari hasil penelitian ini.
Bab V, adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan hasil penelitian dan saran dari peneliti.

Daftar Pustaka
Benzonsky, M. D. 1981. Adolescent Depelopment. New York: Mac Millan Publising Co.
Cohen, S. & Symee, L. 1985. Sosial Support and Health. Florida: Academic Press.
Dariyo.A.2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia.
De Vito. J. A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. (terjemah: Agus Maulana). Jakarta: Professional Books.
Goleman, S. 2006. Emotional Intelligence. (terjemahan: Hermaya, T). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gunarsa, S. D. & Gunarsa, Y. S. D. 1991. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Grinder, R.E. 1978. Adolescence. New York: John Willey & Sons.
Hadi, S.1991. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset.
Helmi, A. F, Ramdhani, N. Dan Haryono. 1991. Standarisasi Skala Tingkah Laku Sosial. Laporan Penelitian. Tidak Diterbitkn. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Hurlock, E. 1980. Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang rentang Kehidupan. Alih bahasa Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Kartono, K. 1996. Psikologi Umum. Bandung: Mandar Maju
Kedaulatan Rakyat, 3 Januari 2008.
Maharani, O.P. dan Andayani, B. 2003. Hubungan antara Dukungan Sosial Ayah dengan Penyesuaian Sosial pada remaja laki- laki, Jurnal Psikologi, No. I, 23- 35.
Pudjianto. 2000. Remaja dan Perkembangannya. Surabaya: Usaha Nasional.
Pudjijogyanti, C. R. 1988. Konsep diri dalam Proses Belajar mengajar. Jakarta: Pusat Penelitian Universitas Atmajaya.
Rakhmat, J. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ramdhani, N. 1996. Perubahan Perilaku dan Konsep Diri Remaja yang Sulit Bergaul Setelah Menjalani Pelatihan Ketrampilan Sosial, Jurnal Psikologi, No. I, 13- 20.
Suharsimi Arikunto, 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Smart, M. S. dan Smart, R. C. 1972. Children Development and Relationship. New York: Half and Winston.
Taylor, S.E. 1995. Health Psychology. Singapore: Mc Graw Hill, Ind.
Walgito. 1990. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.