PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis
sosial, menjadi pokok bahasan dalam perdebatan mengenai perubahan sosial dan
juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan.
Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran,
tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat. Ashad Kusuma Djaya (2004:5) menegaskan bahwa
perbedaan antara laki-laki dan perempuan sesungguhnya bukan untuk
dipertentangkan atau dicari siapa yang lebih unggul diantara keduanya melainkan
dipadukan untuk saling melengkapi. Perbedaan tersebut akhirnya membuat
masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, pertisipasi,
serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan. Menurut Mansour
Fakih (2006:9) terbentuknya gender dikarenakan oleh banyak hal diantaranya
dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosio-kultural
melalui ajaran keagamaan maupun negara. Menurut Ahmad Muthali’in (2001:32)
dalam segala aspek kehidupan berbagai ketidakadilan yang disebabkan oleh
perbedaan gender dirasakan oleh kaum perempuan maupun kaum laki-laki.
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi
masalah sepanjang tidak melahirkan bias gender (gender inequalities).
Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaaan gender telah melahirkan
berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama kaum perempuan
(Fakih, 2006:12). Bias gender sesungguhnya adalah sebuah sistem yang mana pada
akhirnya kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dalam sistem tersebut, dan
dengan melihat realita saat ini yang lebih banyak menerima ketidakadilan adalah
kaum perempuan. Dalam realita yang kita lihat saat ini proses pendidikan di
Indonesia secara umum masih terdapat bias atau ketimpangan gender. Dalam
pandangan Islam memiliki aturan sendiri tentang gender, yang mana aturan
tersebut tidak mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan. Islam tidak
memberi aturan yang berbeda dalam hal pendidikan, status sosial.
Dalam pendidikan islam pun terdapat prinsip-prinsip
yang mengatur tentang gender tanpa adanya ketimpangan. Akan tetapi perbedaan
gender sering sekali didalihkan pada Islam.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah
yang di maksud dengan bias gender?
2. Apa
saja bentuk- bentuk bias gender?
3. Bagaimanakah
gender dalam perseektif Islam?
C. Pembahasan
dan Analisis
1. Bias
Gender
a. Pengertian
bias gender
Gender berasal dari kata “gender (bahasa
Inggis) yang diartikan sebagai “jenis kelamin” (Admojo, S. Dan Darseno,
2005:127). Akan tetapi jenis kelamin disini bukan seks secara biologis,
melainkan secara sosial budaya dan psikologis. Ada dua konsep berbeda antara
konsep sex (jenis kelamin) dan konsep gender. Konsep sex (jenis kelamin) merupakan
pembagian dua jenis kelamin manusia (laki-laki dan perempuan) yang melekat pada
jenis kelamin tertentu secara biologis yang permanen, tidak dapat dirubah dan
sesuai dengan ketentuan Tuhan atau secara kodrat. Sedangkan konsep gender
diartikan sebagai suatu konsep hubungan sosial yang membedakan peranan antara
laki-laki dan perempuan, yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan norma
sosial dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Misalnya perempuan
itu mempunyai sifat lemah lembut, cantik, sedangkan laki-laki mempunyai sifat
kuat, gagah, tampan dan sebagainya.
Konsep gender lebih cenderung menjelaskan tentang
sifat dasar alamiah yang dimiliki oleh laki-laki atau perempuan (Jatmika dan
Nuansari, 2002: 26). Jadi gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial budaya atau sering disebut
kodrat budaya (Pusat Studi Islam, Universitas Islam Indonesia, 2009: 32) Dalam
Webster’s New World, gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”. Sedangkan
dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender ialah “suatu
konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku,
mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat”.
“Gender merujuk pada peranan dan tanggungjawab
laki-laki dan perempuan yang diciptakan dalam keluarga, masyarakat, dan budaya”
(UNESCO, 2007). Begitu pula pemahaman konsep gender menurut HT.Wilson (1996)
yang memandang gender sebagai “suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan
laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai
akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan”.
Mansour Fakih (1996:8) mendefinisikan gender sebagai
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural. Sedangkan pengertian gender menurut Moh.Roqib
(2003:111) adalah pembagian peran manusia pada maskulin dan feminim yang di
dalamnya terkandung peran dan sifat yang dilekatkan oleh masyarakat kepada kaum
laki-laki dan perempuan dan dikonstruksikan secara sosial ataupun kultural.
Adapun peran dan sifat gender ini bisa dipertukarkan, tidak bersifat permanen,
dan berbeda pada daerah, kultur, dan periode tertentu.
Ann
Oakley dalam Ratna Saptari dan Brigitte Holzner (1997:89) melakukan pembedaan
antara istilah gender dan seks:
Perbedaan seks
berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis terutama yang menyangkut
prokreasi (hamil, melahirkan, dan menyusui). Perbedaan gender adalah perbedaan
simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks, tapi tidak selalu
identik dengannya, perbedaan gender tidak selalu bertumpu pada pada perbedaan
biologis.
Dari semua definisi gender yang telah diuraikan
diatas dapat dikatakan bahwa gender merupakan jenis kelamin sosial,
berbedadengan jenis kelamin biologis. Dikatakan sebagai jenis kelamin sosial
karena merupakan tuntutan masyarakat yang sudah mengakar menjadi budaya dan
norma sosial masyarakat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang
membedakan antara peran jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
b. Jenis
peran gender
Berkaitan
dengan peran gender, dikenal ada tiga jenis peran gender yakni peran produktif,
reproduktif dan sosial. Adapun pengertian dari masing- masing peran tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Peran
produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang (laki-laki atau
perempuan), menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk
dikonsumsi atau untuk diperdagangkan. Peran ini sering pula disebut dengan
peran di sektor publik.
2) Peran
reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang (laki-laki atau
perempuan) untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya
manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak,
mencuci pakain, membersihkan rumah, dll. Peran reproduktif ini disebut juga
peran di sektor domestik.
3) Peran
sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang (laki-laki atau perempuan)
untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan seperti
gotong-royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaaan yang menyangkut
kepentingan bersama.
Dari
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa peran kodrati bersifat statis, sedangkan
peran gender bersifat dinamis dan dapat dipertukarkan.
Manusia terlahir ke dunia secara seks dan biologis
dapat dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan. Adapun perbedaan antara
laki-laki dan perempuan merupakan hal yang bersifat kodrati tidak dapat
dipertukarkan dan bersifat permanen. Secara kodrati perempuan yang memiliki sel
telur, menstruasi, hamil, melahirkan dan memiliki payudara untuk menyusui.
Begitu pula kodrat seorang laki-laki memiliki sperma, dzakar. Dari sini
kemudian muncul konsep gender yaitu suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan
perempuan yang di konstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 1996:8).
Karena adanya perbedaan gender yang berkembang dalam masyarakat tersebut ,
seorang perempuan dari kecil di didik menjadi seorang yang lemah lembut dan
laki-laki di didik menjadi seorang yang kuat serta perkasa. Moh. Roqib (2003:
111) menjelaskan bahwa:
peran dan sifat
gender ini bisa dipertukarkan, tidak bersifat permanen, dan berbeda pada
daerah, kultur, dan periode tertentu. Peran laki-laki dan perempuan yang
dikontruksi oleh kondisi sosial dan kultural inilah yang bisa menimbulkan bias
gender dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotip, diskriminasi,
kekerasan, beban kerja ganda, dan ketidak proporsionalan.
Menurut
Moh.Roqib (2003: 115) ketidaksetaraan gender merupakan akibat perlakuan berbeda
terhadap laki-laki dan perempuan dari ketika masih dalam kandungan, masa
kanak-kanak, remaja, sampai manusia dewasa dibenarkan dalam keluarga dan
masyarakat. Senada dengan pendapat tersebut Monsour Fakih (1996:12) menjelaskan
bahwa bias gender merupakan sistem dan struktur di mana baik laki-laki dan
perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
c.
Macam- macam implementasi bias gender
Mansour Fakih
(1996: 13) menjelaskan macam-macam implementasi bias gender sebagai berikut:
1) Marginalisasi
Marginalisasi
merupakan salah satu bentuk bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu,
dalam hal ini adalah perempuan yang disebabkan oleh gender. Ada beberapa
perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses
marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan gender tersebut. Dari segi
sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama,
keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Dalam hal
ini marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, tetapi
juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara.
Ratna Saptari
dan Brigitte Holzner (1997:8) membagi bentuk marginalisasi menjadi beberapa
bagian yaitu pertama marginalisasi sebagai proses pengucilan (exclusion), bahwa
perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis-jenis kerja upahan tertentu.
Kedua marginalisasi sebagai proses penggeseran perempuan ke pinggiran (margins)
dari pasar tenaga kerja, maksdunya bahwa perempuan cenderung mempunyai pekerjaan
yang tidak stabil dan upahnya rendah. Ketiga marginalisasi sebagai proses
feminisasi atau segregasi, maksudnya adalah pemisahan pekerjaan antara
laki-laki dan perempuan.
2) Subordinasi
Subordinasi
diartikan sebagai anggapan tidak penting dalam keputusan politik. Subordinasi
juga mengandung anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga
perempuan tidak bisa memimpin, yang mana kemudian munculnya sikap yang
menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Salah satu contoh hal
kecil yaitu bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena pada
akhirnya perempuan akan berada di dapur.
3) Stereotype
Stereotype
adalah pelabelan atau penandaan negatif terhadap suatu kelompok tertentu, dan
akibatnya terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya yang dalam
hal ini adalah perempuan. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa
perempuan jika bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya
(Fakih, 1996: 58). Sehingga apabila terjadi suatu kasus pemerkosaaan atau
pelecehan perempuan maka kecenderungan masyarakat lebih menyalahkan perempuan.
Adanya
stereotype yang dilebelkan kepada perempuan akibatnya akan membatasi,
menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Mansour Fakih (1996:48)
menjelaskan bahwa adanya keyakinan masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari
nafkah (bread winner) misalnya, maka setiap pekerjaan yang dilakukan
oleh perempuan dinilai hanya sebagai tambahan, oleh karena itu perempuan dapat
dibayar rendah.
4) Kekerasan
(Violence)
Kekerasan (violence)
adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang. Adapun kekerasan yang disebabkan oleh bias gender
disebut gender-related violence. Adapun macam dan bentuk kejahatan yang
dikategorikan sebagai kekerasan gender adalah sebagai berikut:
a) Bentuk
pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan. Dikatakan
pemerkosaan jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanaan
seksual tanpa adanya kerelaan yang bersangkutan.
b) Tindakan
pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic
violence). Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap
anak-anak (child abuse).
c) Bentuk
penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital mutilation),
misalnya penyunatan pada anak perempuan. Hal ini biasanya terjadi karena adanya
anggapan dan bias gender masyarakat, yaitu untuk mengontrol kaum perempuan.
d) Kekerasan
dalam bentuk pelacuran (prostitution). Dalam hal ini pelacuran merupakan
bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme
ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Di suatu sisi pemerintah melarang dan
menangkapi mereka, akan tetapi dilain pihak negara juga menarik pajak dari
mereka. Sedangkan disisi lain pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, namun
tempat pusat kegiatan mereka selalu saja ramai dikunjungi orang.
e) Kekerasan
dalam bentuk pornografi. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni
pelecehan terhadap perempuan di mana tubuh perempuan dijadikan objek demi
keuntungan seseorang.
f) Kekerasan
dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (envorced
sterilization). Hal ini terjadi dalam rangka memenuhi target mengontrol
pertumbuhan penduduk, perempuan yang dijadikan korban dalam program ini,
meskipun semua orang tahu bahwa persoalannya tidak hanya pada perempuan
melainkan berasal dari kaum laki-laki juga.
g) Jenis
kekerasan terselubung (molestation), yaitu memegang atau menyentuh
bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan pelbagai cara dan kesempatan tanpa
kerelaan si pemilik tubuh.
h) Pelecehan
seksual (sexual and emotional harassmemnt). Salah satu contoh misalnya,
menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor, menyentuh atau
menyenggol bagian tubuh perempuan tanpa adanya izin.
5) Beban
Kerja (Double Burden)
Beban kerja
dalam hal ini bahwa pekerjaan domestik (pekerjaan rumah tangga: mencuci,
membersihkan rumah, memasak,dll) semua ditanggung oleh seorang perempuan.
Terlebih lagi jika perempuan tersebut juga harus bekerja, maka ia memikul beban
kerja ganda. Bias gender yang mengakibatkan beban kerja tersebut seringkali
diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan atau keyakinan masyarakat bahwa
pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis “pekerjaan perempuan”, seperti
semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan jenis
pekerjaan yang dianggap sebagai “pekerjaan laki-laki”, serta dikategorikan
sebagai “bukan reproduktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik
ekonomi negara.
Pembagian kerja
di dunia domestik seringkali dibebankan kepada perempuan, sementara laki-laki
di sektor publik sehingga ketika perempuan pergi ke sektor publik ada beban
ganda yang disandangnya. Beban ganda ini sebagian besar dijalani oleh kaum
perempuan yang semestinya juga menjadi beban ganda untuk kaum laki-laki, karena
memang pekerjaan domestik bukanlah kodrat perempuan (Pusat Studi Islam
Universitas Islam Indonesia, 2009: 35).
Mansour Fakih
(1996: 22) menjelaskan bahwa manifestasi bias gender dalam bentuk marginalisasi
ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotipe, dan beban kerja tersebut terjadi
dalam berbagai tingkatan. Pertama dalam tingkatan negara, kedua ditempat kerja,
organisasi maupun dunia pendidikan. Ketiga dalam adat istiadat masyarakat dan
keempat terjadi dalam lingkungan rumah tangga. Semua manifestasi ketidakadilan
tersebut menciptakan suatu struktur bias gender yang melahirkan diskriminasi terhadap
kaum perempuan (Jatmika dan Nuansari, 2002: 10).
Nasaruddin Umar
(2001: 249) menyatakan dalam bukunya mengenai kekhususan-kekhususan yang
diperuntukkan kepada laki-laki, seperti seorang suami setingkat lebih tinggi di
atas isteri (Q.S. Al Baqarah:228), laki-laki pelindung (pemimpin) bagi
perempuan (Q.S. An Nisa’: 34), laki-laki memperoleh warisan lebih banyak (Q.S.
Al Baqarah: 11) dan diperkenankan poligami bagi yang memenuhi syarat (Q.S. An
Nisa’: 3) akan tetapi semua ini tidak menjadi penyebab laki-laki menjadi
hamba-hamba utama. Kelebihan-kelebihan tersebut diberikan kepada laki-laki
dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan
sosial ketika ayat-ayat Al Qur’an diturunkan.
Adapun dalam
pekerjaan Islam juga tidak merinci pembagian kerja antara laki-laki dan
perempuan. Islam hanya menetapkan tugas-tugas pokok masing-masing dan
menggariskan prinsip kesejajaran dan kemitraan atas dasar musyawarah dan
tolong-menolong seperti dalam Q.S. At Taubah:71. Menurut Nasaruddin Umar (2001:
247-263) prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Al Qur’an yaitu: Pertama, laki-laki
dan perempuan sama-sama hamba Allah SWT. Kedua, laki-laki dan perempuan
sebagai khalifah di bumi. Ketiga, laki-laki dan perempuan menerima
perjanjian primodial yaitu sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama sejak
dalam kandungan. Keempat, Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam
drama kosmis yaitu cerita tentang keadaan Adam dan Hawa di surga sampai
diturunkan ke bumi. Kelima, laki-laki dan perempuan berpotensi meraih
prestasi.
2. Gender dalam Perspektif Islam
Persoalan
perempuan dalam Islam menjadi isu yang mengandung kontroversi karena adanya
narasi di dalam Al-Qur’an yang menimbulkan beragam penafsiran. Namun, adanya
beragam penafsiran itu justru memperlihatkan kondisi Al-Qur’an yang memiliki
kemampuan adaptasi dengan tingkat kemajuan peradaban umat manusia. Sosiologi
Arab memperlihatkan kenyataan bahwa perempuan kurang memperoleh kesempatan yang
sama dengan laki-laki dalam berbagai percaturan hidup, termasuk politik dan
sosial budaya. Hal inilah yang seolah-olah menunjukkan bahwa perempuan dalam
Islam sebagaimana tergambar pada perempun Arab pada khususnya dan perempuan
Timur Tengah pada umumnya, hanya menjadi pelengkap yang tidak dapat mengambil
bagian dalam kehidupan sehari-hari.
Islam datang
dalam keadaan masyarakat Arab yang Jahiliah mempunyai tahap kebejatan sosial
yang tinggi. Kaum perempuan tidak mempunyai kedudukan yang baik dalam strata
masyarakat. Islam telah mengangkat martabat kaum perempuan dan memberikan
hak-hak tertentu kepada mereka. Daripada tidak mempunyai sebarang hak, kaum
perempuan mendapat kebebasan hak kehartaan melalui pewarisan dengan nisbah
perempuan lelaki 1:2 (QS.An-Nisa:11), daripada tidak mempunyai hak untuk hidup
dan bertransaksi, kaum perempuan mendapat kebebasan hak hidup dan kesaksian
dengan nisbah kaum perempuan lelaki 2:1 (QS.Al-Baqarah:282), begitu juga dalam
hak perkawinan, daripada mengalami pelecehan seksual tanpa batasan, kaum
perempuan mendapat hak kebebasan dan kemuliaan maruah dengan nisbah
perempuan lelaki 4:1 (QS.An-Nisa:3). Sebaliknya melalui penurunan Al-Qur’an
secara beransur-ansur dalam tempo 23 tahun telah berjaya membebaskan perempuan
daripada belenggu penindasan.
Sehubungan
dengan itu, lelaki dan perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama
dalam aspek ibadah (hubungan manusia dengan Allah) seperti dalam hal shalat,
puasa, zakat dan haji. Hal yang sama juga berlaku dalam mu‘amalat (hubungan
manusia sesama manusia), misalnya hak memiliki dan mewarisi harta dan
bertransaksi. Dalam menjamin persamaan status kemanusiaan, Islam turut
membahagikan tugasan dan tanggung jawab antara lelaki dan perempuan selaras
dengan perbedaan fisiologi mereka. Perbedaan antara kualitas dan kapasitas ini
bukan berkaitan dengan superioritas atau inferioritas. Hal tersebut tidak
menimbulkan ketidakadilan gender selagi mana hubungan kemanusiaan masih berada
dalam koridor keagamaan. Ini karena kelebihan hak tertentu, diimbangi dengan
penambahan kewajiban yang khusus.
Dalam wacana
gender, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan berlakunya hubungan gender
yang tidak adil dalam masyarakat. Menurut Siti Musdah Mulia (2007:58-59)
terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan ketidakadilan gender khususnya
terhadap perempuan, yaitu pertama dominasi budaya patriaki. Seluruh
elemen pembentuk kebudayaan memiliki watak yang memihak kepada atau didominasi
kepentingan lelaki. Kedua, interpretasi ajaran agama sangat didominasi
pandangan yang bias gender dan bias patriaki. Ketiga, hegemoni negara
yang begitu dominan. Selaras dengan itu, beliau menyarankan agar dilakukan counter
ideology dan counter hegemony. Selain faktor-faktor tersebut,
fenomena diskriminasi gender ini dikatakan berasal dari doktrin keagamaan sama
ada dalam agama Samawi atau agama Budaya, terutamanya melibatkan “teologi
penciptaan perempuan” (nafs wahidah) dan “drama kosmis” (penyingkiran
Adam dan Hawa dari syurga) atau “original sin”. Ia diabsahkan oleh
agama-agama Samawi seperti Yahudi, Kristian dan Islam. Menurut golongan
feminis, faktor ini menjadi titik tolak terhadap bias dalam hubungan di antara
lelaki dan perempuan. Karena hal tersebut, sumber-sumber Isra’iliyyat atau
mitos tersebut mempengaruhi sebagian besar ulama klasik terutamanya dalam
persepsi mereka terhadap kaum perempuan.
Dalam Islam
tidak membedakan antara pendidikan seorang laki-laki dengan perempuan, mereka
mendapatkan hak yang sama. Hal tersebut telah tertuang pada firman Allah SWT
dalam Q.S An-Nisa ayat 32:
wur (#öq¨YyJtGs? $tB @Òsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3Ò÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# c%2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJÎ=tã ÇÌËÈ
“dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada
bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha”
Ayat di atas
memberikan dorongan bahwa perempuan juga dapat berkarir dan mencapai prestasi
sama dengan kaum laki-laki, hal tersebut bergantung pada usaha dan dorongan
dari masing-masing.
Gender dalam
perspektif Islam telah banyak dibahas dalam Al-Qur’an salah satunya terdapat
pada Q.S Al-Qashas ayat 77:
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù 9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( wur [Ys? y7t7ÅÁtR ÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJ2 z`|¡ômr& ª!$# øs9Î) ( wur Æ÷ö7s? y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
“dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.”
Ayat ini
merupakan perintah bagi laki-laki dan perempuan untuk berusaha dan berkarier
agar bisa mencapai kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat. Banyak teks yang
menunjukkan perintah untuk menuntut ilmu. Dalam sejarah Islam, banyak sekali
ditemukan para permpuan terkenal di bidang ilmu, sastra, fikih dan juga hadits.
Memberikan pendidikan kepada perempuan pada zaman sekarang sudah menjadi
sesuatu yang sangat urgen, yaitu agar para perempuan dapat melaksanakan segala
tugas sosialnya, baik di rumah maupun dalam masyarakat dengan para
teman-temannya.
Begitu juga
dalam ajaran Islam, perempuan juga mempunyai hak dan kesempatan berkarier
dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya sebagai perempuan. Dalam
Al-Qur’an Allah SWT telah menjamin (memotivasi) baik laki-laki maupun perempuan
yang mau bekerja (berkarier) dalam bidang apa saja yang tergolong pekerjaan
baik (halal), hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut:
ÆtBur ö@yJ÷èt z`ÏB ÏM»ysÎ=»¢Á9$# `ÏB @2s ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB y7Í´¯»s9'ré'sù tbqè=äzôt sp¨Yyfø9$# wur tbqßJn=ôàã #ZÉ)tR ÇÊËÍÈ
“Barangsiapa yang mengerjakan
amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman,
Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
sedikitpun. “(An-Nisaa’:124).
Allah SWT
menyuruh laki-laki maupun perempuan agar bisa bekerja sama, saling menolong,
baik dalam rangka kepentingan pekerjaan (karier) maupun untuk kepentingan
ibadah. Islam tidak membedakan urusan mencari ilmu yang bermanfaat antara
laki-laki dan perempuan. keduanya sama-sama diperintahkan mempelajari ilmu yang
bermanfaat. Dalam sejarah banyak sekali ditemukan kaum perempuan yang terkenal
cerdas dalam ilmu syar’i. Islam tidak melarang perempuan untuk belajar
berbagai macam ilmu yang bermanfaat yang ia kehendaki, karena menuntut ilmu
adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim, nash dalam hadits ini
mencakup dua jenis insan yakni laki-laki dan perempuan, sebagaimana dalam semua
bentuk perintah keagamaan.
Quraish Shihab
dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an menjelaskan beberapa prinsip persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang sangat
urgen, yaitu sebagai berikut:
a.
Hak dan Kewajiban Belajar: telah banyak
ayat Al-Quran dan hadis Nabi SAW yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik
kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan, di antaranya,
"Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah)" (HR
Al-Thabarani melalui Ibnu Mas'ud). Hal ini juga terdapat dalam Al-Qur’an yang
menegaskan bahwa "Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan
berfirman, "Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan." (QS Ali
'Imran: 195). Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari, dan
kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati setelah berzikir kepada Allah serta
apa yang mereka ketahui dari alam raya ini.
b.
Peranan Istri dan Suami dalam Rumah
Tangga: hal ini mengacu pada Q.S Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan, "Bagi
lelaki (suami) terhadap mereka (wanita/istri) satu derajat (lebih tinggi).”
Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas dijelaskan oleh surat
An-Nisa' ayat 34, yang menyatakan bahwa "lelaki (suami) adalah pemimpin
terhadap perempuan (istri).". Mengacu pada ayat di atas bahwa peran
laki-laki dan perempuan telah disesuaikan dengan kelebihan masing-masing. Dan
diantara keduanya terdapat hak dan kewajiban yang berbeda pula, akan tetapi
hendaknya mereka tetap saling membantu dalam memenuhi kewajibannya.
c.
Hak-hak dalam Bidang Politik:
"Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS Al-Syura [42]:
38). Ayat ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak
berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan. Al-Quran menguraikan permintaan
para perempuan di zaman Nabi Saw. untuk melakukan bai'at (janji setia kepada
Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 12.
(ebookbrowse.com/dr-m-quraish-shihab-ma-wawasan-al-quran-pdf-...).
D. Kesimpulan
Syariat Islam yang bersifat universal dapat
menangani berbagai ragam budaya dengan menerima tradisi yang baik, menolak
tradisi buruk dan menapis tradisi yang samar dalam masyarakat. Walau
bagaimanapun, tidak semua tradisi yang berakar umbi dalam masyarakat Muslim
dapat dikikis sepenuhnya. Ini berkaitan latar dengan belakang tradisi dan
peradaban silam masih kukuh di dalam warisan masyarakat. Hakikatnya, peradaban
silam sama ada yang bersumberkan peradaban Yunani, Byzantine, India Kuno dan
sebagainya berasaskan tradisi patriaki. Tiada satu gambaran yang positif
terutama dalam pola hubungan gender. Perempuan biasanya digambarkan sebagai
simbol seksual, pemuas nafsu dan tertindas. Oleh karena itu, Islam mengajar
manusia tentang konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan,
bersikap baik sesama umat manusia tanpa mengira perbedaan gender, maupun ras
manusia.
Konsep hubungan gender dalam Islam lebih dari
sekadar mengatur keadilan gender dalam masyarakat, tetapi secara teologi dan
teleologi mengatur pola hubungan mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan
Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai
khalifah yang adil dan hamba yang shalih.
Daftar Pustaka
Djaya, Ashad
Kusuma dan Asmara, Ki Guno. 2004. Asmaragama Wanita Jawa Spiritualitas dan
Pesona Seksualitas dalam Kearifan Tradisional. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Fakih,
Mansour. 2001. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Fakih, Mansour. 2003. Pendidikan Perempuan. Yogayakarta:
Gama Media
Kadarusman. 2005. Agama, Relasi Gender dan
Feminisme. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Jatmika, Sidik.
Dan Nuansari, Vonny. 2002. Dinamika Partisipasi Politik Perempuan Iran. Yogyakarta:
Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
Mujib, Abdul dan
Mudzakkir, Jusuf. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Muthali’in, Achmad. 2001. Gender Dalam Pendidikan
Islam. Yogyakarta: UMY Press.
Roqib, Moh. 2003. Pendidikan Perempuan. Yogyakarta:
Gama Media
Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte. 1997. Perempuan
Kerja Dan Perubahan Sosial Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta:
Grafiti.
Shihab, M. Quraish. 2005. Perempuan. Jakarta:
Lentera Hati
Shihab, M.Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an. Bandung:
Mizan Media Utama
Umar,
Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al Qur’an.
Jakarta: Paramadina.