Selamat Datang di Blog saya, semoga berkenan meninggalkan komentar untuk perbaikan !

Sabtu, 28 September 2013

Gender Dalam Persepektif Islam



PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan. Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Ashad Kusuma Djaya (2004:5) menegaskan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan sesungguhnya bukan untuk dipertentangkan atau dicari siapa yang lebih unggul diantara keduanya melainkan dipadukan untuk saling melengkapi. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, pertisipasi, serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan. Menurut Mansour Fakih (2006:9) terbentuknya gender dikarenakan oleh banyak hal diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosio-kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Menurut Ahmad Muthali’in (2001:32) dalam segala aspek kehidupan berbagai ketidakadilan yang disebabkan oleh perbedaan gender dirasakan oleh kaum perempuan maupun kaum laki-laki.
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan bias gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama kaum perempuan (Fakih, 2006:12). Bias gender sesungguhnya adalah sebuah sistem yang mana pada akhirnya kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dalam sistem tersebut, dan dengan melihat realita saat ini yang lebih banyak menerima ketidakadilan adalah kaum perempuan. Dalam realita yang kita lihat saat ini proses pendidikan di Indonesia secara umum masih terdapat bias atau ketimpangan gender. Dalam pandangan Islam memiliki aturan sendiri tentang gender, yang mana aturan tersebut tidak mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan. Islam tidak memberi aturan yang berbeda dalam hal pendidikan, status sosial.
Dalam pendidikan islam pun terdapat prinsip-prinsip yang mengatur tentang gender tanpa adanya ketimpangan. Akan tetapi perbedaan gender sering sekali didalihkan pada Islam.


B.  Rumusan Masalah
1.    Apakah yang di maksud dengan bias gender?
2.    Apa saja bentuk- bentuk bias gender?
3.    Bagaimanakah gender dalam perseektif Islam?
C.  Pembahasan dan Analisis
1.    Bias Gender
a.    Pengertian bias gender
Gender berasal dari kata “gender (bahasa Inggis) yang diartikan sebagai “jenis kelamin” (Admojo, S. Dan Darseno, 2005:127). Akan tetapi jenis kelamin disini bukan seks secara biologis, melainkan secara sosial budaya dan psikologis. Ada dua konsep berbeda antara konsep sex (jenis kelamin) dan konsep gender. Konsep sex (jenis kelamin) merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia (laki-laki dan perempuan) yang melekat pada jenis kelamin tertentu secara biologis yang permanen, tidak dapat dirubah dan sesuai dengan ketentuan Tuhan atau secara kodrat. Sedangkan konsep gender diartikan sebagai suatu konsep hubungan sosial yang membedakan peranan antara laki-laki dan perempuan, yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Misalnya perempuan itu mempunyai sifat lemah lembut, cantik, sedangkan laki-laki mempunyai sifat kuat, gagah, tampan dan sebagainya.
Konsep gender lebih cenderung menjelaskan tentang sifat dasar alamiah yang dimiliki oleh laki-laki atau perempuan (Jatmika dan Nuansari, 2002: 26). Jadi gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial budaya atau sering disebut kodrat budaya (Pusat Studi Islam, Universitas Islam Indonesia, 2009: 32) Dalam Webster’s New World, gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”. Sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender ialah “suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat”.
“Gender merujuk pada peranan dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang diciptakan dalam keluarga, masyarakat, dan budaya” (UNESCO, 2007). Begitu pula pemahaman konsep gender menurut HT.Wilson (1996) yang memandang gender sebagai “suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan”.
Mansour Fakih (1996:8) mendefinisikan gender sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sedangkan pengertian gender menurut Moh.Roqib (2003:111) adalah pembagian peran manusia pada maskulin dan feminim yang di dalamnya terkandung peran dan sifat yang dilekatkan oleh masyarakat kepada kaum laki-laki dan perempuan dan dikonstruksikan secara sosial ataupun kultural. Adapun peran dan sifat gender ini bisa dipertukarkan, tidak bersifat permanen, dan berbeda pada daerah, kultur, dan periode tertentu.
Ann Oakley dalam Ratna Saptari dan Brigitte Holzner (1997:89) melakukan pembedaan antara istilah gender dan seks:
Perbedaan seks berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis terutama yang menyangkut prokreasi (hamil, melahirkan, dan menyusui). Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks, tapi tidak selalu identik dengannya, perbedaan gender tidak selalu bertumpu pada pada perbedaan biologis.

Dari semua definisi gender yang telah diuraikan diatas dapat dikatakan bahwa gender merupakan jenis kelamin sosial, berbedadengan jenis kelamin biologis. Dikatakan sebagai jenis kelamin sosial karena merupakan tuntutan masyarakat yang sudah mengakar menjadi budaya dan norma sosial masyarakat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang membedakan antara peran jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
b.    Jenis peran gender
Berkaitan dengan peran gender, dikenal ada tiga jenis peran gender yakni peran produktif, reproduktif dan sosial. Adapun pengertian dari masing- masing peran tersebut adalah sebagai berikut:
1)   Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang (laki-laki atau perempuan), menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi atau untuk diperdagangkan. Peran ini sering pula disebut dengan peran di sektor publik.
2)   Peran reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang (laki-laki atau perempuan) untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci pakain, membersihkan rumah, dll. Peran reproduktif ini disebut juga peran di sektor domestik.
3)   Peran sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang (laki-laki atau perempuan) untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan seperti gotong-royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaaan yang menyangkut kepentingan bersama.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa peran kodrati bersifat statis, sedangkan peran gender bersifat dinamis dan dapat dipertukarkan.
Manusia terlahir ke dunia secara seks dan biologis dapat dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan. Adapun perbedaan antara laki-laki dan perempuan merupakan hal yang bersifat kodrati tidak dapat dipertukarkan dan bersifat permanen. Secara kodrati perempuan yang memiliki sel telur, menstruasi, hamil, melahirkan dan memiliki payudara untuk menyusui. Begitu pula kodrat seorang laki-laki memiliki sperma, dzakar. Dari sini kemudian muncul konsep gender yaitu suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang di konstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 1996:8). Karena adanya perbedaan gender yang berkembang dalam masyarakat tersebut , seorang perempuan dari kecil di didik menjadi seorang yang lemah lembut dan laki-laki di didik menjadi seorang yang kuat serta perkasa. Moh. Roqib (2003: 111) menjelaskan bahwa:
peran dan sifat gender ini bisa dipertukarkan, tidak bersifat permanen, dan berbeda pada daerah, kultur, dan periode tertentu. Peran laki-laki dan perempuan yang dikontruksi oleh kondisi sosial dan kultural inilah yang bisa menimbulkan bias gender dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotip, diskriminasi, kekerasan, beban kerja ganda, dan ketidak proporsionalan.
Menurut Moh.Roqib (2003: 115) ketidaksetaraan gender merupakan akibat perlakuan berbeda terhadap laki-laki dan perempuan dari ketika masih dalam kandungan, masa kanak-kanak, remaja, sampai manusia dewasa dibenarkan dalam keluarga dan masyarakat. Senada dengan pendapat tersebut Monsour Fakih (1996:12) menjelaskan bahwa bias gender merupakan sistem dan struktur di mana baik laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.



c.       Macam- macam implementasi bias gender
Mansour Fakih (1996: 13) menjelaskan macam-macam implementasi bias gender sebagai berikut:
1)    Marginalisasi
Marginalisasi merupakan salah satu bentuk bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini adalah perempuan yang disebabkan oleh gender. Ada beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan gender tersebut. Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Dalam hal ini marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, tetapi juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara.
Ratna Saptari dan Brigitte Holzner (1997:8) membagi bentuk marginalisasi menjadi beberapa bagian yaitu pertama marginalisasi sebagai proses pengucilan (exclusion), bahwa perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis-jenis kerja upahan tertentu. Kedua marginalisasi sebagai proses penggeseran perempuan ke pinggiran (margins) dari pasar tenaga kerja, maksdunya bahwa perempuan cenderung mempunyai pekerjaan yang tidak stabil dan upahnya rendah. Ketiga marginalisasi sebagai proses feminisasi atau segregasi, maksudnya adalah pemisahan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan.
2)    Subordinasi
Subordinasi diartikan sebagai anggapan tidak penting dalam keputusan politik. Subordinasi juga mengandung anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa memimpin, yang mana kemudian munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Salah satu contoh hal kecil yaitu bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena pada akhirnya perempuan akan berada di dapur.
3)    Stereotype
Stereotype adalah pelabelan atau penandaan negatif terhadap suatu kelompok tertentu, dan akibatnya terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya yang dalam hal ini adalah perempuan. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan jika bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya (Fakih, 1996: 58). Sehingga apabila terjadi suatu kasus pemerkosaaan atau pelecehan perempuan maka kecenderungan masyarakat lebih menyalahkan perempuan.
Adanya stereotype yang dilebelkan kepada perempuan akibatnya akan membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Mansour Fakih (1996:48) menjelaskan bahwa adanya keyakinan masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah (bread winner) misalnya, maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dinilai hanya sebagai tambahan, oleh karena itu perempuan dapat dibayar rendah.
4)    Kekerasan (Violence)
Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Adapun kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut gender-related violence. Adapun macam dan bentuk kejahatan yang dikategorikan sebagai kekerasan gender adalah sebagai berikut:
a)    Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan. Dikatakan pemerkosaan jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanaan seksual tanpa adanya kerelaan yang bersangkutan.
b)   Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence). Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse).
c)    Bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan pada anak perempuan. Hal ini biasanya terjadi karena adanya anggapan dan bias gender masyarakat, yaitu untuk mengontrol kaum perempuan.
d)   Kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Dalam hal ini pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Di suatu sisi pemerintah melarang dan menangkapi mereka, akan tetapi dilain pihak negara juga menarik pajak dari mereka. Sedangkan disisi lain pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, namun tempat pusat kegiatan mereka selalu saja ramai dikunjungi orang.
e)    Kekerasan dalam bentuk pornografi. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecehan terhadap perempuan di mana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang.
f)    Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (envorced sterilization). Hal ini terjadi dalam rangka memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan yang dijadikan korban dalam program ini, meskipun semua orang tahu bahwa persoalannya tidak hanya pada perempuan melainkan berasal dari kaum laki-laki juga.
g)   Jenis kekerasan terselubung (molestation), yaitu memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan pelbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh.
h)   Pelecehan seksual (sexual and emotional harassmemnt). Salah satu contoh misalnya, menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor, menyentuh atau menyenggol bagian tubuh perempuan tanpa adanya izin.
5)    Beban Kerja (Double Burden)
Beban kerja dalam hal ini bahwa pekerjaan domestik (pekerjaan rumah tangga: mencuci, membersihkan rumah, memasak,dll) semua ditanggung oleh seorang perempuan. Terlebih lagi jika perempuan tersebut juga harus bekerja, maka ia memikul beban kerja ganda. Bias gender yang mengakibatkan beban kerja tersebut seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan atau keyakinan masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis “pekerjaan perempuan”, seperti semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai “pekerjaan laki-laki”, serta dikategorikan sebagai “bukan reproduktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara.
Pembagian kerja di dunia domestik seringkali dibebankan kepada perempuan, sementara laki-laki di sektor publik sehingga ketika perempuan pergi ke sektor publik ada beban ganda yang disandangnya. Beban ganda ini sebagian besar dijalani oleh kaum perempuan yang semestinya juga menjadi beban ganda untuk kaum laki-laki, karena memang pekerjaan domestik bukanlah kodrat perempuan (Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia, 2009: 35).
Mansour Fakih (1996: 22) menjelaskan bahwa manifestasi bias gender dalam bentuk marginalisasi ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotipe, dan beban kerja tersebut terjadi dalam berbagai tingkatan. Pertama dalam tingkatan negara, kedua ditempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan. Ketiga dalam adat istiadat masyarakat dan keempat terjadi dalam lingkungan rumah tangga. Semua manifestasi ketidakadilan tersebut menciptakan suatu struktur bias gender yang melahirkan diskriminasi terhadap kaum perempuan (Jatmika dan Nuansari, 2002: 10).
Nasaruddin Umar (2001: 249) menyatakan dalam bukunya mengenai kekhususan-kekhususan yang diperuntukkan kepada laki-laki, seperti seorang suami setingkat lebih tinggi di atas isteri (Q.S. Al Baqarah:228), laki-laki pelindung (pemimpin) bagi perempuan (Q.S. An Nisa’: 34), laki-laki memperoleh warisan lebih banyak (Q.S. Al Baqarah: 11) dan diperkenankan poligami bagi yang memenuhi syarat (Q.S. An Nisa’: 3) akan tetapi semua ini tidak menjadi penyebab laki-laki menjadi hamba-hamba utama. Kelebihan-kelebihan tersebut diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial ketika ayat-ayat Al Qur’an diturunkan.
Adapun dalam pekerjaan Islam juga tidak merinci pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Islam hanya menetapkan tugas-tugas pokok masing-masing dan menggariskan prinsip kesejajaran dan kemitraan atas dasar musyawarah dan tolong-menolong seperti dalam Q.S. At Taubah:71. Menurut Nasaruddin Umar (2001: 247-263) prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Al Qur’an yaitu: Pertama, laki-laki dan perempuan sama-sama hamba Allah SWT. Kedua, laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Ketiga, laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primodial yaitu sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama sejak dalam kandungan. Keempat, Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis yaitu cerita tentang keadaan Adam dan Hawa di surga sampai diturunkan ke bumi. Kelima, laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi.
2.    Gender dalam Perspektif Islam
Persoalan perempuan dalam Islam menjadi isu yang mengandung kontroversi karena adanya narasi di dalam Al-Qur’an yang menimbulkan beragam penafsiran. Namun, adanya beragam penafsiran itu justru memperlihatkan kondisi Al-Qur’an yang memiliki kemampuan adaptasi dengan tingkat kemajuan peradaban umat manusia. Sosiologi Arab memperlihatkan kenyataan bahwa perempuan kurang memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam berbagai percaturan hidup, termasuk politik dan sosial budaya. Hal inilah yang seolah-olah menunjukkan bahwa perempuan dalam Islam sebagaimana tergambar pada perempun Arab pada khususnya dan perempuan Timur Tengah pada umumnya, hanya menjadi pelengkap yang tidak dapat mengambil bagian dalam kehidupan sehari-hari.
Islam datang dalam keadaan masyarakat Arab yang Jahiliah mempunyai tahap kebejatan sosial yang tinggi. Kaum perempuan tidak mempunyai kedudukan yang baik dalam strata masyarakat. Islam telah mengangkat martabat kaum perempuan dan memberikan hak-hak tertentu kepada mereka. Daripada tidak mempunyai sebarang hak, kaum perempuan mendapat kebebasan hak kehartaan melalui pewarisan dengan nisbah perempuan lelaki 1:2 (QS.An-Nisa:11), daripada tidak mempunyai hak untuk hidup dan bertransaksi, kaum perempuan mendapat kebebasan hak hidup dan kesaksian dengan nisbah kaum perempuan lelaki 2:1 (QS.Al-Baqarah:282), begitu juga dalam hak perkawinan, daripada mengalami pelecehan seksual tanpa batasan, kaum perempuan mendapat hak kebebasan dan kemuliaan maruah dengan nisbah perempuan lelaki 4:1 (QS.An-Nisa:3). Sebaliknya melalui penurunan Al-Qur’an secara beransur-ansur dalam tempo 23 tahun telah berjaya membebaskan perempuan daripada belenggu penindasan.
Sehubungan dengan itu, lelaki dan perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam aspek ibadah (hubungan manusia dengan Allah) seperti dalam hal shalat, puasa, zakat dan haji. Hal yang sama juga berlaku dalam mu‘amalat (hubungan manusia sesama manusia), misalnya hak memiliki dan mewarisi harta dan bertransaksi. Dalam menjamin persamaan status kemanusiaan, Islam turut membahagikan tugasan dan tanggung jawab antara lelaki dan perempuan selaras dengan perbedaan fisiologi mereka. Perbedaan antara kualitas dan kapasitas ini bukan berkaitan dengan superioritas atau inferioritas. Hal tersebut tidak menimbulkan ketidakadilan gender selagi mana hubungan kemanusiaan masih berada dalam koridor keagamaan. Ini karena kelebihan hak tertentu, diimbangi dengan penambahan kewajiban yang khusus.
Dalam wacana gender, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan berlakunya hubungan gender yang tidak adil dalam masyarakat. Menurut Siti Musdah Mulia (2007:58-59) terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan ketidakadilan gender khususnya terhadap perempuan, yaitu pertama dominasi budaya patriaki. Seluruh elemen pembentuk kebudayaan memiliki watak yang memihak kepada atau didominasi kepentingan lelaki. Kedua, interpretasi ajaran agama sangat didominasi pandangan yang bias gender dan bias patriaki. Ketiga, hegemoni negara yang begitu dominan. Selaras dengan itu, beliau menyarankan agar dilakukan counter ideology dan counter hegemony. Selain faktor-faktor tersebut, fenomena diskriminasi gender ini dikatakan berasal dari doktrin keagamaan sama ada dalam agama Samawi atau agama Budaya, terutamanya melibatkan “teologi penciptaan perempuan” (nafs wahidah) dan “drama kosmis” (penyingkiran Adam dan Hawa dari syurga) atau “original sin”. Ia diabsahkan oleh agama-agama Samawi seperti Yahudi, Kristian dan Islam. Menurut golongan feminis, faktor ini menjadi titik tolak terhadap bias dalam hubungan di antara lelaki dan perempuan. Karena hal tersebut, sumber-sumber Isra’iliyyat atau mitos tersebut mempengaruhi sebagian besar ulama klasik terutamanya dalam persepsi mereka terhadap kaum perempuan.
Dalam Islam tidak membedakan antara pendidikan seorang laki-laki dengan perempuan, mereka mendapatkan hak yang sama. Hal tersebut telah tertuang pada firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa ayat 32:

Ÿwur (#öq¨YyJtGs? $tB Ÿ@žÒsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3ŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# šc%Ÿ2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJŠÎ=tã ÇÌËÈ  

 “dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha”
Ayat di atas memberikan dorongan bahwa perempuan juga dapat berkarir dan mencapai prestasi sama dengan kaum laki-laki, hal tersebut bergantung pada usaha dan dorongan dari masing-masing.
Gender dalam perspektif Islam telah banyak dibahas dalam Al-Qur’an salah satunya terdapat pada Q.S Al-Qashas ayat 77:
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ  
“dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Ayat ini merupakan perintah bagi laki-laki dan perempuan untuk berusaha dan berkarier agar bisa mencapai kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat. Banyak teks yang menunjukkan perintah untuk menuntut ilmu. Dalam sejarah Islam, banyak sekali ditemukan para permpuan terkenal di bidang ilmu, sastra, fikih dan juga hadits. Memberikan pendidikan kepada perempuan pada zaman sekarang sudah menjadi sesuatu yang sangat urgen, yaitu agar para perempuan dapat melaksanakan segala tugas sosialnya, baik di rumah maupun dalam masyarakat dengan para teman-temannya.
Begitu juga dalam ajaran Islam, perempuan juga mempunyai hak dan kesempatan berkarier dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya sebagai perempuan. Dalam Al-Qur’an Allah SWT telah menjamin (memotivasi) baik laki-laki maupun perempuan yang mau bekerja (berkarier) dalam bidang apa saja yang tergolong pekerjaan baik (halal), hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut:
ÆtBur ö@yJ÷ètƒ z`ÏB ÏM»ysÎ=»¢Á9$# `ÏB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB y7Í´¯»s9'ré'sù tbqè=äzôtƒ sp¨Yyfø9$# Ÿwur tbqßJn=ôàム#ZŽÉ)tR ÇÊËÍÈ  

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. “(An-Nisaa’:124).
Allah SWT menyuruh laki-laki maupun perempuan agar bisa bekerja sama, saling menolong, baik dalam rangka kepentingan pekerjaan (karier) maupun untuk kepentingan ibadah. Islam tidak membedakan urusan mencari ilmu yang bermanfaat antara laki-laki dan perempuan. keduanya sama-sama diperintahkan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Dalam sejarah banyak sekali ditemukan kaum perempuan yang terkenal cerdas dalam ilmu syar’i. Islam tidak melarang perempuan untuk belajar berbagai macam ilmu yang bermanfaat yang ia kehendaki, karena menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim, nash dalam hadits ini mencakup dua jenis insan yakni laki-laki dan perempuan, sebagaimana dalam semua bentuk perintah keagamaan.
Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an menjelaskan beberapa prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang sangat urgen, yaitu sebagai berikut:
a.    Hak dan Kewajiban Belajar: telah banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi SAW yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan, di antaranya, "Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah)" (HR Al-Thabarani melalui Ibnu Mas'ud). Hal ini juga terdapat dalam Al-Qur’an yang menegaskan bahwa "Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman, "Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan." (QS Ali 'Imran: 195). Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari, dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati setelah berzikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini.
b.    Peranan Istri dan Suami dalam Rumah Tangga: hal ini mengacu pada Q.S Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan, "Bagi lelaki (suami) terhadap mereka (wanita/istri) satu derajat (lebih tinggi).” Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas dijelaskan oleh surat An-Nisa' ayat 34, yang menyatakan bahwa "lelaki (suami) adalah pemimpin terhadap perempuan (istri).". Mengacu pada ayat di atas bahwa peran laki-laki dan perempuan telah disesuaikan dengan kelebihan masing-masing. Dan diantara keduanya terdapat hak dan kewajiban yang berbeda pula, akan tetapi hendaknya mereka tetap saling membantu dalam memenuhi kewajibannya.
c.    Hak-hak dalam Bidang Politik: "Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS Al-Syura [42]: 38). Ayat ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan. Al-Quran menguraikan permintaan para perempuan di zaman Nabi Saw. untuk melakukan bai'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 12. (ebookbrowse.com/dr-m-quraish-shihab-ma-wawasan-al-quran-pdf-...).



D.    Kesimpulan
Syariat Islam yang bersifat universal dapat menangani berbagai ragam budaya dengan menerima tradisi yang baik, menolak tradisi buruk dan menapis tradisi yang samar dalam masyarakat. Walau bagaimanapun, tidak semua tradisi yang berakar umbi dalam masyarakat Muslim dapat dikikis sepenuhnya. Ini berkaitan latar dengan belakang tradisi dan peradaban silam masih kukuh di dalam warisan masyarakat. Hakikatnya, peradaban silam sama ada yang bersumberkan peradaban Yunani, Byzantine, India Kuno dan sebagainya berasaskan tradisi patriaki. Tiada satu gambaran yang positif terutama dalam pola hubungan gender. Perempuan biasanya digambarkan sebagai simbol seksual, pemuas nafsu dan tertindas. Oleh karena itu, Islam mengajar manusia tentang konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan, bersikap baik sesama umat manusia tanpa mengira perbedaan gender, maupun ras manusia.
Konsep hubungan gender dalam Islam lebih dari sekadar mengatur keadilan gender dalam masyarakat, tetapi secara teologi dan teleologi mengatur pola hubungan mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah yang adil dan hamba yang shalih.
















Daftar Pustaka
Djaya, Ashad Kusuma dan Asmara, Ki Guno. 2004. Asmaragama Wanita Jawa Spiritualitas dan Pesona Seksualitas dalam Kearifan Tradisional. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka  Pelajar

Fakih, Mansour. 2003. Pendidikan Perempuan. Yogayakarta: Gama Media
Kadarusman. 2005. Agama, Relasi Gender dan Feminisme. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Jatmika, Sidik. Dan Nuansari, Vonny. 2002. Dinamika Partisipasi Politik Perempuan Iran. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Mujib, Abdul dan Mudzakkir, Jusuf. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Muthali’in, Achmad. 2001. Gender Dalam Pendidikan Islam. Yogyakarta: UMY Press.
Roqib, Moh. 2003. Pendidikan Perempuan. Yogyakarta: Gama Media
Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte. 1997. Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Grafiti.
Shihab, M. Quraish. 2005. Perempuan. Jakarta: Lentera Hati
Shihab, M.Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan Media Utama
Umar, Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al Qur’an. Jakarta: Paramadina.